4 | Superhero (4)

26K 3.1K 255
                                    

Malam itu, Arvin terpekur di tangga teras rumah. Renungannya kembali hadir. Ia sadar bahwa keluarga Davski adalah satu-satunya peluang baginya untuk tetap melihat cahaya. Dan masa lalu terasa begitu kelam.

Matanya menatap kejauhan. Entah apa yang dilihatnya, yang jelas ia sedang melamun. Bahkan udara yang dingin pun tak dihiraukannya. Luka lebam dengan sedikit rasa perih yang ditinggalkan di pelipisnya itu telah memanggil kembali kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang membuat hatinya benar-benar tergerak.

"Arvin, kau akan pergi bersama Paman Nathan ke tempat yang aman."

"Ayah ...." Arvin kecil masih berusaha meraih tubuh ayahnya. Ia sangat ingin beralih pangkuan. Namun semua pergerakannya terkunci oleh tangan Nathan yang segera menggendong Arvin pergi. Sementara tubuhnya mulai terasa aneh sejak kulit Arvin dijejali oleh jarum suntik.

"Kalau kita beruntung, kita pasti akan bertemu lagi." Tangan Averus mengelus rambut anaknya. Apa yang dikatakan ayahnya?! Kalau mereka beruntung? Apakah rindu Arvin pada ayahnya ini hanya seharga permainan dadu? Jika ia beruntung, ia bisa membawa pulang kebahagiaan? Tidak! Ayahnya tak mengerti sama sekali perasaan Arvin.

Sedetik kemudian, tangan Averus mengambil sesuatu dari saku celana. "Arvin, berjanjilah untuk mempertahankan apa yang benar di dunia ini. Apa pun yang terjadi," bisik Averus dengan serius sambil mengalungkan sebuah tali berbandul kepada Arvin.

Arvin terbungkam, dengan bola matanya yang terasa panas dan basah. Ia hanya bisa diam, membiarkan ayahnya pergi melangkah menuju pintu. Ia ingin berteriak pada para polisi brengsek itu. Pergilah! Dan jangan ganggu kami!

Kepalanya terasa semakin berat, sementara air mata kini makin menjadi-jadi. Dalam sekilas suara peluru, sosok ibunya terjatuh lunglai ke lantai. Darah bagaikan bedak yang melumuri wajahnya yang lugu.

Secepat itukah dia berpisah dengan ibunya? Bahkan Arvin belum sempat mengatakan betapa sayangnya ia kepada Ibu. Betapa rindunya ia dengan jeweran yang terasa panas di telinga. Betapa ketagihannya ia dengan pukulan yang membekas di kulit. Betapa sunyinya waktu tanpa bentakan dari Ibu. Ya, Arvin rela menjadi anak nakal selamanya untuk mendapatkan itu semua. Sayangnya, Arvin tak akan bisa menyentuh ibunya lagi. Tak akan bisa.

Arvin tahu, sekeras apapun ia meraung, tetap saja tak akan mengembalikan keadaan rumahnya seperti semula. Andai saja, ia adalah orang yang kuat. Tidak lemah dan terkungkung di tubuh kecil yang rapuh ini, maka ia akan memenggal semua kepala polisi itu. Tak peduli ia akan menanggung dosa seumur hidup.

Hal terakhir yang bisa dilihat oleh Arvin dari rumah itu hanyalah seulas tipis senyum dari ayahnya. Menyiratkan sebuah percakapan tanpa suara. Percakapan terakhir Arvin dengan sang ayah,

"Selamat tinggal-"

"-Arvin?" Sebuah suara mengaburkan kisah pilu di dalam pikiran gamangnya.

Mata merah gelap Arvin kini menangkap sosok anak berkacamata yang begitu mirip dengan pria yang menyelamatkannya waktu itu. Tentu saja Tuan Nathan menurunkan setengah kromosomnya kepada Rei.

Tak perlu penjelasan lagi bagi si anak berkacamata. Ia sudah tahu apa yang biasa Arvin pikirkan ketika sedang merenung dan menimang kalung peninggalan ayahnya. "Arvin, kau melupakan segala hal, tapi masih mengingat-ingat kejadian itu?"

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang