40 | Kembang Api (4)

12.2K 1.7K 136
                                    

<<<>>>

Kolaborasi musik waltz dan lampu coklat redup yang disetting dari dalam aula mampu menyalurkan kehangatan sintetis di malam cerah tanpa selimut awan itu. Carrie menghabiskan sepuluh menitnya di balkon lantai dua yang mengarah langsung ke wajah kota Pasithea. Kelip lampu-lampu kota seakan mampu bercengkerama dengan bintang yang berkedip di langit.

"Kau disini rupanya?" tanya Arvin yang kini bertumpu pada pagar balkon di samping Carrie. "Sepertinya pesta ini adalah ajang nostalgia guru. Sampai-sampai muridnya bosan semua," celetuknya terkekeh.

Gadis itu tersenyum dan menggeleng. "Tidak, menurutku pesta ini elegan dan aku menyukainya. Hanya saja, entah kenapa, saat ini aku ingin melihat kembang api di sini."

"Kembang api?" Arvin yang langsung mengerti. Anak ini pasti merasa kurang tanpa kehadiran sosok orang lain. Ia mulai sadar, ada sesuatu yang terasa salah dan tidak bisa dipaksakan di sini. "Siapa yang kau maksud kembang api?" ujarnya beretorika.

"Tidak, tidak. Hanya kembang api. Aku memang menyukainya sejak kecil. Ledakan spontan dari satu titik yang memancarkan warna-warni tak terduga. Bukankah itu sangat indah?!" ungkap Carrie, membuat batin Arvin sedikit lega.

Arvin tak tahu harus berkata apa, namun saat ia memandang langit, ia jadi ikut merindukan kehadiran kembang api di langit malam. Kekuatan api yang ia miliki mungkin bisa ia pakai untuk mewujudkan keinginan Carrie, namun tanggungan risiko membuatnya berurung niat.

"Ngomong-ngomong, kau masih ingat tentang filosofi kembang api dari kelas Prof. Ignitus?" tanya Carrie.

Arvin mengangguk, memandang langit terbuka dan meneruskan kalimatnya. "Kita melihat dunia seperti kembang api. Hidup kita hanya berdurasi singkat, kemudian lenyap dan digantikan oleh yang lain. Tapi dalam waktu sesingkat itu, masih ada kesempatan untuk menjadi percikan api yang membuat orang lain yang melihatnya merasa bahagia. Artinya ia berguna bagi orang lain."

Keduanya diam, menelusuri diri sebagai kembang api. "Sayangnya kembang api meninggalkan bau belerang yang membuat sesak napas setelah pertunjukan. Sama seperti ketika manusia mati. Kita akan meninggalkan bau kesedihan kepada orang-orang yang menyayangi kita," ucap Carrie semakin sendu.

"Hey, hey, c'mon," tukas Arvin mendekatkan dirinya pada Carrie, "this is a prom, right? Not a funeral. Jangan terlalu fokus untuk memikirkan hal-hal yang hanya akan menjadi angan. Dari tadi membicarakan kembang api yang jelas-jelas tidak ada. Sesekali, nikmatilah yang ada di hadapanmu sekarang!" Arvin menengadahkan tangan pada Carrie. Gadis itu cukup takjub padanya yang tengah menunggu dengan senyum ramah. Musik waltz telah jelas berkumandang, namun apakah hati sudah siap untuk menari?

<<<>>>

"La Donna È Mobile." Sora bergumam di tengah paduan ansembel yang sedang dinikmatinya. Saat suara biola, cello, string, flute, dan alat musik lain melebur menjadi pola-pola interferensi yang lembut membelai membran pendengaran.

"Kau berkata sesuatu?" Rei yang masih berdiri kaku di sampingnya menoleh pada Sora. Kepala gadis itu naik turun seperti tikus tanah keluar masuk lubang, sementara kelopak matanya tertutup.

Setelah membuka mata, tanpa aba-aba lagi Sora menarik tangan Rei untuk menuju ke area dansa. Rei sempat melirik ke belakang. Ternyata persepsinya salah, Tuan Wira tengah asyik berbincang dengan beberapa guru dan undangan lain dari satuan militer. Berkat adanya wajib militer, McValen seperti mendapat keluarga baru. Mungkin merupakan hubungan yang menguntungkan, paling tidak menguntungkan bagi Rei untuk saat ini.

Kembali ke realitanya, Rei tengah berada di tengah lautan manusia yang sibuk mengayunkan bahu ke kanan dan ke kiri. Rei mendadak merasa pusing dan hendak pergi saja dari tempat itu. Namun Sora segera menariknya, mengunci kesepuluh pasang jemari mereka.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang