47 | Dalam Kegelapan (5)

11.9K 1.6K 123
                                    

<<<>>>

Bayangan wajah King Cedric memantul samar di kaca jendela. Ruangan yang bergabung dengan balkon setengah lingkaran itu memadatkan pikirannya menjadi segaris benang kusut tanpa ujung. Kembali, ia merekat dengan kekhawatirannya tentang Soteria. Hingga pintu di ujung ruangan itu terketuk.

Perdana Menteri Hans masuk diantar oleh seorang penjaga. Keduanya saling melempar hormat, sebelum King Cedric mempersilakan tamunya untuk duduk. "Pastilah ada satu hal yang amat penting dan mendesak sampai saya diundang secara khusus ke ruang pribadi Anda, Yang Mulia."

Penjaga bertuxedo beringsut untuk menuang teh ke cangkir pendek di hadapan dua petinggi negara. Seusainya, pria itu langsung pergi untuk menciptakan privasi. "Ini berkaitan dengan rencanamu, Hans."

Perdana Menteri tersenyum samar, seolah sudah menduga sesuatu di dalam hatinya. "Apakah Anda masih belum yakin dengan ulasan saya, Yang Mulia?"

King Cedric bergeming di sofa. Dua cangkir teh mengepul di meja. Menemani sang diam yang melumat keduanya dalam beberapa detik.

"Kejadian di McValen beberapa hari yang lalu sangat meresahkan warga. Apalagi jika mereka sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di luar sana, musuh sedang beranak-pinak. Siap menghancurkan tembok kita kapan saja. Sementara Soteria? Soteria terlalu tenang menghadapinya. Paling tidak ada yang harus kita siapkan mulai dari sekarang, Yang Mulia. Sesuatu yang besar. Anda tahu maksud saya," tutur Perdana Menteri dengan tenang. Ia tak perlu risau. Cepat atau lambat rencananya akan segera dikabulkan. Atau tepatnya, harus dikabulkan.

King Cedric menghela napas dan mengambil cangkirnya. Berharap aroma teh pekat itu memberinya dukungan. "Kita sudah punya sistem pertahanan berlapis. Dari segi jumlah, aku rasa itu cukup. Kita juga masih bisa merekrut ulang para veteran."

"Kekuatan prajurit tidak sebanding dengan transducers," sahut Perdana Menteri. "Kita butuh kualitas, bukan hanya kuantitas, Yang Mulia. Saya yakin Anda sudah sangat paham dengan itu." King Cedric tak menjawab, seolah perkataan Perdana Menteri itu meluncur menjadi semen yang membantu mengeraskan hatinya.

"Aku masih belum yakin Perserikatan Internasional akan menyetujui hal ini."

Mendengarnya, Perdana Menteri tersenyum menang. "Bagaimana jika saya berhasil mengajukan permohonan itu?" Ia segera membuka sebuah surat elektronik dari unigetnya, menunjukkan sebuah sertifikasi resmi dari Perserikatan Internasional. "Masih ada batasan yang harus kita hormati, tapi saya yakin bahwa tanda tangan ketua Perserikatan Internasional ini sudah bisa menjelaskan semuanya."

King Cedric terkatup tak bisa melawan. Inilah sebuah awal yang ia sendiri tak tahu akan berakhir seperti apa.

<<<>>>

Evan mau tak mau tertawa. Para siswa yang biasanya berlomba mendandani diri dengan gaya rambut khas masing-masing, pagi ini tampak seragam. "Kepalamu mirip bola basket gara-gara potongan crew itu." Evan menunjuk rambut cepak milik Radhit. Seketika Evan menerima satu jitakan di kepala hampir-plontosnya sebagai balasan. "Kau pasti diam-diam memengaruhi pihak sekolah supaya semua orang mengikuti gayamu, kan?"

"Hmm, kecurigaan yang logis," jawab Evan sambil bertampang seperti detektif, "dengan banyaknya kelompok kontrol seperti sekarang, akhirnya aku bisa menghukumkan sebuah teori: Evan adalah pemuda dengan rambut cepak yang ketampannya tak tertandingi oleh pria mana pun."

Jitakan kedua berasal dari Lavina. Sekarang giliran Radhit yang tertawa melihat Evan mengaduh dan mengelus kepala. "Ayolah aku hanya sedang berbahagia melihat orang-orang yang terkena karma karena dulu selalu mengejekku."

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang