70 | Spektrum Warna (6)

10.9K 1.5K 108
                                    

<<<>>>

Di gelombang penyerangan yang kedua, seorang transducer dengan kekuatan geokinesis diturunkan dari badan pesawat tempur milik Stefan yang di belakangnya sudah tampak berbondong-bondong rekan sekubu mereka dari arah Timur. Wanita yang berpakaian hitam tersebut menjejak tanah dan mulai berkonsentrasi dengan manuver menelentangkan tangan untuk membuat pondasi gedung-gedung terangkat dan rusak parah. Terdengar teriakan nyalang dari penduduk yang terjebak di dalam bangunan. Semakin membuat wanita itu tersenyum puas. Sementara manusia terbang di sekitarnya tak henti-henti berkeliaran dan membunuh siapa saja warga Pasithea yang bernasib malang hari itu. Kecuali yang berhasil bersembunyi, atau dengan bebalnya berjanji akan tunduk pada penguasa, hanya agar nyawa mereka terlindungi.

Bumbu-bumbu mencekam pun makin terasa lengkap. Tak satu pun teroris yang membawa tank, menembakkan senjata laser, atau pun menjatuhkan bom nuklir. Mereka hanya mengandalkan kekuatan alami, dan baris pertahanan Soteria nyaris tampak seperti debu di ujung jari. Pasukan elit, militan, humandroid, semuanya rontok bagai daun berguguran.

Saat-saat yang kritis. Dalam batin, King Cedric mulai meletakkan kuasa untuk mengangkat bendera putih. Kekuatan kubu hitam dan putih telak, tak seimbang. Dengan tragis, kekuatan Soteria dipermalukan di dalam rumah sendiri. King Cedric sakit hati karena pergerakannya telah diskak-mat. Soteria sudah tamat. Dan penyesalan demi penyesalan mulai datang terlambat.

Satu-satunya biang teroris yang berhasil masuk ke dalam istana kenegaraan dengan cepat tanpa cacat adalah Mary--pemilik chromokinesis yang mengubah diri menjadi transparan dan menyelinap bagai bunglon, tepat, sesuai dengan nama tengahnya. Namun ia sedikit kecewa karena tak mendapati siapa pun di sini. Ruangan lebar dan glamor sudah dikosongkan. Bahkan semua benda yang berharga sekali pun raib. Hanya tersisa kursi, meja, dan pajangan-pajangan kecil tak berguna. Mary pun menghentikan aliran kekuatan Hexagonnya. Segera setelah kembali ke wujud semula, wanita dengan rambut hitam disanggul ke belakang itu menghubungi pusat komando lewat headset di telinganya. "Gedung putih sudah aman. Sepertinya mereka semua memilih untuk pergi. Ya, sekarang aku setuju denganmu kalau para darah biru lebih sayang dengan nyawa sendiri. Dan harta, bila aku boleh menambahkan." Mary menutup sambungan dengan tawa kecil.

Sementara anak-anak McValen yang terjebak di gedung markas Soteria terpekik keras begitu logam besi yang menyelimuti dinding di sekitarnya ringsek dikarenakan ulah seseorang. Trevor dengan beringas berjalan di lorong-lorong sambil memanfaatkan ferrokinesisnya untuk menutup jalan, agar gerombolan anak-anak itu tidak bisa melarikan diri. "Where's him!?" Sedari tadi, Nico di antara anak yang lain, sadar kalau pria bertubuh tinggi besar itu mengatakan kalimat yang sama. Tapi siapa yang dia cari sebenarnya?

Tak berselang lama, Jasper dan anggota militer lain muncul dengan membawa senapan rifle. Memberondongi tubuh Trevor dengan puluhan biji pelor. Beruntung, dibantu dengan baju antipeluru, Trevor masih bisa bertahan. Sambil memajukan kedua tangannya ke arah Jasper, ia mengaktifkan mode transducer. Tembakan Jasper dan kawan-kawan seketika berhenti, begitu tangan mereka terpaksa harus menarik kembali rifle itu mendekati dada. Mereka saling tarik-menarik hingga kekuatan kubu Jasper tak kuasa mengimbangi tarikan Trevor. Senjata pun melayang di udara, mendekat menuju pemilik ferrokinesis dan dengan seketika dihentakkan menuju arah Jasper dan rekannya.

Seluruh anggota militer itu tumbang, menyisakan Jasper. Ia paling sigap menangkap rifle yang hendak menyerang diri tuannya sendiri itu. Trevor berjalan mendekat sehingga kekuatannya terasa makin kuat. Jasper masih menahan rifle itu di depan wajah, sampai-sampai tubuhnya sendiri ikut terdorong ke belakang.

"Katakan, di mana Arvin sekarang!" perintahnya pada Jasper. Ia akhirnya menyebut nama. Trevor sampai lupa perihal anak-anak McValen di belakang. Hal itu membuatnya lengah. Dan ketika Nico menyabetkan potongan besi, pria itu terpekik memegangi bahu. "Bocah sialan!" Trevor segera menaikkan potongan besi yang digenggam kuat oleh Nico, siap menghempaskan anak itu kapan pun ia mau. Anak itu bergelantungan di udara dengan wajah ketakutan, sementara Jasper di belakang tubuh Trevor sudah siap dengan bogem mentahnya.

Sesaat setelah satu pukulan hebat mendarat di pipi Trevor, Nico terpelanting ke arah anak-anak McValen yang lain sebab konsentrasi Trevor terpecah. Trevor segera beralih fokus ke Jasper yang berkali-kali berusaha membuatnya jatuh dengan gerakan-gerakan menyepak dan meninju. Jasper menang. Trevor terjegal dan terguling kasar di lantai.

Menyadari dirinya masih punya senjata andalan walaupun bermain dengan tangan kosong, pria ferrokinesis itu segera memusatkan kekuatan pada tubuh Jasper. Sebelum Jasper bisa menghabisi Trevor, gerakan sendi-sendinya terhenti begitu jantung Jasper merasakan sakit. Pria berbadan kekar itu hanya bisa bergerak kaku memegangi dadanya yang terasa sakit seperti ditumbuk dari dalam. Trevor menyeringai sambil bangkit dan mendekati Jasper. "Jangan lupa kalau darah manusia juga punya zat besi, heh."

Pekikan tertahan keluar dari mulut Jasper. Trevor mengangkat dagu pria itu, hanya agar dia tidak menunduk dan bisa menjawab pertanyaan Trevor. "Katakan, di mana Arvin, sekarang!"

Tanpa menunggu waktu lama, Jasper segera terguling ke lantai begitu medan ferrokinesis berhenti menyiksanya. Giliran Trevor yang kini tertahan memegangi ulu hati dengan kaku. Si mata sayu tampak masih memegangi gagang pedang lipat dari balik punggung Trevor. Sedetik kemudian dia menarik bilah pedangnya, membiarkan perdarahan di tubuh lawannya bocor keluar. "Dia sudah tidak ada di sini, bodoh!" Suara Peter yang dingin membekukan tubuh Trevor hingga tak mampu bergerak di lantai.

<<<>>>

"Ya, realogram adalah hasil karya terakhirku." Gamang, Tuan Kendrick masih di atas meja, tempat duduknya yang semula. "Setelah ini aku tidak akan membuat apa-apa lagi. Aku takut kalau ciptaanku malah membuat petaka di masa depan. Sekarang saja sudah terjadi, bagaimana nanti?"

Pertemuan kali ini benar-benar menyulap pria itu menjadi orang lain. Ia lebih banyak bicara dan kesan bengisnya mulai terkikis. Mungkin inilah saatnya pepatah "sampul dan buku" kembali terngiang di kepala anak-anak itu, terutama Arvin.

"Jadi, di dalam realogram, kalian akan merasakan semua hal seolah-olah nyata. Rumput, air, suara, semuanya. Ini adalah pengembangan dari bioskop tujuh dimensi. Bukan hanya nonton, tapi kalian ikut main di dalamnya," sambung Tuan Kendrick.

Belva yang paling melek soal teknologi dibuatnya berdecak kagum. "Anda harus mematenkannya agar nanti saya bisa bermain game virtual yang benar-benar terasa nyata!" Anak berkacamata itu justru kegirangan, berbeda sekali dengan lima orang temannya. "Tapi aku masih belum bisa membayangkan bagaimana prisma hologram bisa diatur sedemikian rupa sehingga dapat disentuh dan dirasakan sebagai sebuah simulasi. Aku sebelumnya mengira, Bapak memasang alat pengontrol otak pada saat kami di ruangan gelap."

Tuan Kendrick tertawa. "Tidak. Ruangan gelap itu murni kesalahan teknis. Kesalahan yang lain adalah mode peralihan cuaca yang terlalu tiba-tiba. Untung kalian tidak merasa aneh. Dan realogram lahir saat aku berangkat dari teori yang mengatakan bahwa dunia ini identik dengan hologram. Yang menjelaskan kehidupan kita ini dipenuhi ilusi. Menjadikannya mirip dengan permainan simulasi yang mana kita sedang diawasi.

"Kesadaran akan lingkungan di dimensi ketiga ini hanyalah semu. Namun semua tampak sangat nyata, karena otak kita bekerja sedemikian terbatas sehingga mudah ditipu. Kita sangat rawan terkurung dengan kotak-kotak subjektivitas. Dan banyak hal yang tidak bisa kita peroleh hanya dengan mengandalkan logika saja. Dalam desain yang luar biasa besar, kita bisa membayangkan diri sebagai bagian dari serabut-serabut gelombang kuantum yang maya. Serabut dari hologram yang sebenarnya terkumpul pada satu titik sebagai proyektornya. Dan mungkin, di sanalah Sang Maha Pengatur itu ada."

"Menciptakan simulasi di dalam simulasi," lanjut Belva menyimpulkan.

Carrie terkagum-kagum, apalagi mendengar kalimat terakhir dari Tuan Kendrick. "Jadi Bapak percaya Tuhan itu ada?" Ia bertanya dengan hati-hati, dan Tuan Kendrick mengangguk yakin.

"Tentu saja, aku masih mengikuti gaya klasik Einstein. Aku tidak sesombong itu jika harus mengeliminasi Tuhan dari dasar teori dan pemahamanku. Semesta terlalu luas untuk bisa digapai oleh pikiran manusia yang terlalu sempit."

Namun setelah menuturkannya, ia menjadi sedikit murung. "Walaupun negara telah berhasil membunuh agama atas dasar kesamarataan, tapi aku yakin keberadaan Tuhan tidak akan pernah bisa dihapus. Dia akan selalu ada. Baik diterima maupun ditolak."

Perdana Menteri Hans pun segera terbatuk-batuk mendengar penjelasan itu. "Sepertinya kalian akan sedikit lama. Aku harus bergabung dengan yang lain," tuturnya sambil berjalan cepat keluar, diikuti dengan Grace untuk mendampingi pria itu.

<<<>>>

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang