49 | Reposisi Materi (1)

9.5K 1.6K 47
                                    

GRAWWWWW!!! #*asjkddlskf282d1sf2@2&fsd#)(10qaskq0*w0o)@

*datang-datang nggak Assalamualaikum malah menggila begini* -_______-

saya memang sudah dibikin gila karena UTS yang deket-deket sama UAS (kenapa sih mereka pakek acara PDKT segala) dan dampaknya, saya nggak ada waktu buat nulis cerita duh kah #nangisteleng

Oke, karena sekarang saya sudah waras (?) saya mau apdet cerita aja. Yang lagi nunggu apdetan hexagon, MANA SUARANYAAAAA!!!???

*oke, sepertinya saya masih belum sepenuhnya waras*

duh kah ngoceh mulu. sini-sini yang sudah kangen sama aa Arpin merapat.

========================================================


<<<>>>

Kesunyian melingkupi rumah bernomor 87 di persimpangan jalan Aiegus. Sampai akhirnya Nyonya Pitta yang sedang membaca koran digital, berjingkat kaget begitu mendengar debuman keras dari lantai dua. Mirip suara beton seukuran manusia dijatuhkan dari atap.

Merasa penasaran, wanita bertongkat kruk itu langsung menyiapkan sebuah panci untuk dibawanya naik. Sedikit kesulitan, ia menaiki anak tangga ke lantai atas diam-diam. Sementara telinganya memastikan asal suara berisik yang terdengar lamat-lamat di pendengaran.

Genggaman tangan di pegangan panci pun semakin erat begitu Nyonya Pitta yakin bahwa ada seseorang di dalam kamar. Sambil harap-harap cemas, ia membuka pintu. Dan dalam sedetik, panci yang dipegangnya pun menggelincir ke lantai.

"Arvin!?" teriak Nyonya Pitta histeris. Sama tak percayanya dengan anak ikal yang masih mengusap-usap dahi di samping dipan. Arvin segera meraih tubuh wanita yang berusaha memeluknya.

"M-Mama?" Arvin masih tampak terkejut. Rasanya kembali ke rumah ini sama dengan terbangun dari mimpi buruk. Ia juga makin tenang setelah tahu Nyonya Pitta tak lagi bergantung pada kursi roda.

Tanpa menjawab, wanita itu malah beralih menatap wajah kotor Arvin. Masih dengan tatapan tidak percaya. "Kami sudah mencarimu kemana-mana, Arvin. Ini benar-benar kamu atau bukan?" ucapnya sambil menggoyangkan wajah Arvin.

Anak ikal itu tersenyum menahan tawa sambil mengangguk pelan. Merasa tak puas, Nyonya Pitta kembali memeluk Arvin lebih erat, membuat bocah itu yakin bahwa Nyonya Pitta tak menganggap Arvin sebagai bom api, seperti apa yang ditakutkannya.

Sedetik kemudian, terdengar bunyi keroncongan dari perut Arvin. Keduanya lantas tertawa bersamaan. "Oke, mandilah dulu, sembari aku menyiapkan sup. Kita akan bercerita di meja makan, oke?" ucap Nyonya Pitta dengan tulus.

Wanita itu segera melenggang pergi. Menyisakan Arvin dengan ruangan sunyi sebagai tempatnya merenung. Bagai disulap, ia baru saja pergi melihat dunia luar yang ternyata dipenuhi oleh ilusi. Hitam tak selalu salah. Putih tak selalu benar. Kebenaran dan keburukan telah bertabrakan dalam satu aliran deras yang berusaha mengikis keyakinannya. Fakta telah berbicara bahwa ayahnya dengan Paman Nathan telah ikut andil dalam masalah besar ini. Arvin berharap, ini semua hanyalah mimpi buruk dan akan berakhir begitu ia bangun. Namun, sayangnya ia tak sedang tidur siang.

Setelah selesai mengikuti instruksi Nyonya Pitta, Arvin turun dan menemuinya di ruang makan. Nyonya Pitta jadi ragu untuk bertanya tatkala melihat wajah Arvin yang kusut. Tak seperti biasanya, anak itu makan dengan sangat tenang.

"Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?" tanya Nyonya Pitta pada Arvin dengan hati-hati. Tentunya setelah tahu fitur khusus yang dimiliki Arvin, wanita itu jadi lebih segan. Seberapa pun Nyonya Pitta menganggap Arvin tetaplah Arvin yang dulu, ia tak bisa menyangkal ada perubahan sikap yang mendadak dari anak itu.

Arvin hanya diam. Hatinya masih belum siap untuk terungkap. Lawan bicaranya pun hanya bisa menghela napas dalam.

"Hmm, bagaimana kamu tiba-tiba bisa ada di kamarmu, ya?"

Arvin berhenti menyendok sup krimnya. Lantas menemukan sorot mata Nyonya Pitta yang tingkat penasarannya sedang naik level. Arvin menerawang ke dalam bola mata itu dan bertanya dalam hati, sanggupkah wanita ini percaya ada keajaiban yang membawanya kemari? Terlebih lagi, keajaiban itu adalah ulah suaminya sendiri?

"Aku tak mau membahasnya sekarang, Ma." Arvin memilih opsi menghindar daripada bingung di antara pilihan jujur atau berbohong. Nyonya Pitta tampaknya mengerti.

"Ma...." Suara Arvin membuat Nyonya Pitta kembali mendongak. "Apakah mama tidak takut kepada Arvin?"

Nyonya Pitta langsung tersenyum mendengarnya. "Rasa takut mama lebih besar ketika tahu kamu tiba-tiba menghilang, Arvin. Mama rasa, Rei juga begitu."

Arvin menunduk untuk menyembunyikan bola matanya yang tengah berkaca-kaca.

"Oh, ya." Nyonya Pitta teringat sesuatu. "Dalam beberapa bulan ke depan, anak-anak McValen diwajibkan untuk tinggal di asrama. Jadi sepertinya Rei masih tidak bisa pulang minggu ini. Kau tak apa-apa, kan?" tuturnya.

Mata Arvin membulat begitu selintas pikiran masuk ke dalam mindanya. Ia mulai paham akan sesuatu. Dan ia tahu kapan harus bertindak. "Aku harus segera bertemu dengan Rei."

"Tunggu!" Nyonya Pitta mencegah Arvin untuk berdiri. Dengan ragu, wanita itu berkata, "Arvin ..., kau sudah menjadi bahan ketakutan dari warga. Jika kau tetap ke sana--"

"Aku," potong Arvin tak sabaran, "akan membuat mereka semua berubah pikiran." Kilau mata merah itu kembali membara. Semangatnya selayak kobaran api yang tengah membakar kayu kering. Lekas dan progresif. Arvin berhasil mengalahkan jerat kekhawatiran Nyonya Pitta, dan bertandang menuju sekolah. Semua orang layak tahu bahwa Arvin bukanlah bagian dari kegelapan.

<<<>>>

Peluit dibunyikan. Seluruh kaki berlomba-lomba untuk melewati garis putih yang menunjukkan posisi start. Anak-anak berseragam tentara berlarian dengan sepatu boots mereka yang berat. Mencari cara agar mendapatkan bendera--yang sebelumnya ditancapkan di beberapa tempat di sekolah--sebanyak mungkin.

Tumbukan bukan lagi jadi masalah. Yang penting kelompok mereka bisa mendapat poin tambahan hari ini. Itu adalah salah satu syarat agar bebas dari hukuman kelompok, sekaligus untuk lulus di tahun ini.

Ada yang berusaha sendirian. Ada pula yang melindungi teman sekelompoknya agar bisa mengumpulkan bendera tanpa tergasak oleh kelompok lain. Bahkan usaha merebut bendera dari kelompok lawan pun diperbolehkan. Tak ayal jika kelompok Jupiter melancarkan aksi yang membabi-buta. Rei segera menyembunyikan beberapa bendera yang sudah digenggamnya di balik topi batoknya. Berpura-pura gagal, sampai peluit kembali bersuara.

Suasana benar-benar terlihat kaos selama dua setengah menit. Dan akhirnya kegiatan itu dihentikan oleh Jasper dalam sekali semprit.

Semuanya terengah-engah. Berjalan perlahan dengan pelipis berlumuran debu dan keringat. Terik matahari di masa kemarau yang panjang tak pernah mau berkompromi dengan mereka. Selesai menghirup beberapa cc oksigen, Rei memasukkan kembali kaleng semprotan itu ke saku celananya, lantas berjalan mengikuti langkah anak yang lain.

Hanya tiga bendera segitiga kecil yang berhasil Rei dapatkan. Anak Saturnus lain pun terlihat lesu. Bukan pertanda yang baik. Mungkin malam ini mereka akan tidur terlambat akibat hukuman sebagai kelompok dengan peringkat harian terendah.


HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang