14 | Reuni Agung (4)

12.9K 2K 119
                                    

BLAAAAMMMMM

Rei terperanjat, memandang ngeri ke arah belakang. Tempat yang semula terlihat sangat indah itu kini mulai mengepulkan asap hitam ke langit, "M-Mereka meledakkan bom!?"

"Sial!" pekik Arvin; menginjak pedal dan membuat motor terbang itu melaju lebih cepat.

Sesampainya di rumah, Rei merasakan keanehan pada pintu depan rumahnya yang menganga. Tidak biasanya mamanya membiarkan pintu depan terbuka seperti ini.

Arvin segera mendahului langkah Rei, seraya menghadang Rei dengan tangan kirinya. "Sepertinya ada orang asing di rumah kita," sergahnya pelan, sukses membuat Rei senam jantung, serta seluruh sisa ketenangannya segera menguap. Bukankah di rumah hanya ada Mama? Dan kini ia mulai menyalahkan dirinya sendiri yang telah membiarkan wanita itu sendirian di rumah.

Akhirnya Arvin dan Rei berhasil memasuki rumah itu. Namun sesaat kemudian, nafas Rei tercekat saat kakinya berhasil menapaki lantai dapur. Harapan melihat mamanya baik-baik saja pun mendadak sirna. Dadanya sesak, dan matanya kini berair tatkala melihat seonggok tubuh-wanita tiga puluh tahunan-tergeletak di lantai.

"M-Mama!" dengan segera Rei menyerbu tubuh yang terkulai itu sambil memastikan denyut nadi di ujung lehernya. Terlihat dari mata Rei yang nanar beberapa bekas luka pukulan-terutama di bagian kaki-yang membuatnya semakin miris.

Disaat yang bersamaan, seseorang keluar dari kamar lantai satu. Rupanya orang itu telah mendeteksi suara Rei. Dan yang membuat mereka berdua tercengang, orang itu mengenakan seragam yang sama persis dengan manusia terbang yang ada di Colosseum.

Arvin langsung berbisik, "Rei! Kita harus segera membawa mamamu ke rumah sakit."

Sedikit keberuntungan bagi mereka; Nyonya Pitta masih bisa diselamatkan.

Kemudian dengan tangan kosong, Arvin segera berjibaku dengan manusia terbang-yang mendekat ke arah mereka-sebelum ia berhasil meluncurkan pelurunya kepada mereka.

Arvin dan manusia terbang itu terjerembab di lantai dengan posisi Arvin mengekang di atas, dan serta merta ia mencekik leher si Manusia terbang hingga membuatnya kehabisan nafas, dan pingsan.

Sementara Rei terlihat bersusah payah membopong ibunya keluar dari rumah itu menuju sebuah Auttaxi yang telah terparkir di terminal.

Namun sebelum Arvin berhasil membantu Rei, dua orang berpakaian terbang bermunculan dari lantai atas. Apakah mereka mencoba menjarah kamar Rei dan Arvin? Tapi untuk apa? Batin kedua anak itu bertanya-tanya.

"Rei! Aku akan menghambat mereka. Cepat pergilah, dan selamatkan Mama!"

"Kau gila?! Kau tidak bisa melawannya sendirian, Arvin." sergah Rei dengan cepat, sementara tangannya masih terasa berat oleh tubuh mamanya.

"Tidak bisa. Kita pasti kalah cepat dari senjata mereka. Mereka akan menembaki kita bertiga sampai mati. Mamamu sendiri tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Rei. Dia butuh pertolongan pertama," ucap Arvin sesekali menoleh ke belakang. Sementara kedua manusia terbang mulai menuruni anak tangga, sembari menyiapkan senjata mereka.

"Aku tidak peduli. Kau harus ikut bersama kami, Arvin!" mata Rei sampai berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat itu. Ia tentu tak ingin membiarkan Arvin bertindak ceroboh kali ini.

"Rei, aku masih belum siap kehilangan sosok ibu untuk kedua kalinya. Selamatkanlah Mama, kumohon," ucap Arvin mendadak dengan mata redup,

"Kau harus percaya padaku, Rei. Aku pasti akan mengalahkan mereka berdua. Apapun yang terjadi, jangan pernah kembali!" ucap Arvin mencoba terlihat tegar dan segera mendorong tubuh Rei untuk keluar dari rumah. Arvin menutup pintu itu, lantas menguncinya dari dalam.

Keputusan Arvin benar-benar membuat Rei kalut dan terpaku untuk beberapa saat di luar rumah. Rei pun sama tak siapnya untuk kehilangan sosok ibu. Namun, kini ia dihadapkan dengan risiko untuk kehilangan sosok Arvin. Seorang sahabat yang tidak pernah jauh dari pundaknya. Rei pun mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Terutama ketika ia belum sempat mengabulkan semua permintaan Arvin, termasuk memanggilnya dengan sebutan 'adik'.

Rei segera menggeleng-gelengkan kepalanya, seraya menyeka matanya yang entah sejak kapan terasa lembab. Ia lantas melangkahkan kakinya dengan lebih mantap. Arvin benar, mamanya kini lebih memerlukan pertolongan. Dan semakin lama ia disitu, semakin kecil kemungkinannya untuk menyelamatkan sebuah nyawa. Dan semakin besar kemungkinan ia membuat pengorbanan Arvin sia-sia.

'Arvin, kau harus hidup!'

Sejenak bayangan masa lalu terputar kembali di dalam otak Arvin. Tentang pembunuhan yang terjadi di rumahnya beberapa tahun silam. Dan ironisnya, ia kini berada di posisi ayahnya. Jadi, seperti inikah rasanya mengorbankan diri untuk sesuatu yang ingin ia pertahankan-keluarga?

Perasaan berkecamuk yang menggerayanginya, membuat dada Arvin serasa tak kuasa menahan jantung yang memompa darah lebih keras, disertai nafas yang memburu. Dia bukan apa-apa selain seorang anak berusia 17 tahun yang selama ini hanya mengandalkan kemampuan bertarung ala anak berandal sekolah; mencoba melawan dua orang bersenjata, sungguh sangat telak baginya.

Arvin masih mencoba mengatur nafas saat dua manusia terbang itu berjalan mendekatinya. Ia mengedarkan pandangan mencari sesuatu yang bisa dijadikan perlindungan. Namun pandangannya tertambat pada sebuah benda yang sangat familiar baginya.

Benda itu mengilat di tangan salah seorang manusia terbang. Sementara tangan kanan Arvin segera meraba dadanya sendiri-memastikan bahwa benda di tangan manusia terbang itu adalah kalung miliknya.

Bagaimana bisa dia melupakan kalung itu? Arvin menyesali semangat di pagi harinya tadi malah membuatnya tergesa-gesa dan melupakan sesuatu yang sangat penting.

Kalung berliontin perak-berukuran dua ruas jari tangan-yang biasa Arvin timang dikala ia rindu pada kedua orang tuanya itu, tentu saja menjadi barang berharga bagi Arvin. Lebih dari harga berapa pun yang ditawarkan oleh pembeli perhiasan antik di luar sana.

Kedua manusia terbang tak membiarkan Arvin tenang dengan topeng polos mereka yang terlihat semakin mendekat ke arah Arvin. Sementara langkah bocah ikal itu terhenti oleh dinding tembok yang memojokkannya. Lawannya sudah mengulurkan tangan mereka, siap dengan alat tembak yang ada di punggung tangan masing-masing.

Tidak ada ruang lagi bagi Arvin untuk kabur. Fight or flight, ia harus melawan sekarang. Apapun risikonya.

Sementara Rei dan mamanya berhasil meluncur melintasi Jalan Aigeus menuju rumah sakit. Namun ketika detik waktu belum banyak dihabiskan, tiba-tiba terdengar sebuah dentuman yang cukup keras hingga terdengar jelas dari dalam mobil yang kedap itu.

BUMMMMMMMMM

Mata Rei membulat tak percaya, melihat kepulan asap yang tertera di kaca spion. Mengingatkannya dengan kejadian pengeboman di Colosseum oleh pelaku yang sama, si Manusia terbang. Dan asap itu berasal dari rumah yang ditinggalkannya.

Tangan Rei yang menggantung di depan layar kemudi pun mendadak bergetar hebat. Apakah harapan untuk bisa menemui Arvin setelah kejadian ini pun menjadi omong kosong belaka?

'-apapun yang terjadi jangan pernah kembali kesini!'

'aku belum siap kehilangan untuk kedua kalinya, Rei.'

Entah bagaimana suara itu tiba-tiba menggema di rongga kepala Rei. Masih terbayang jelas baginya wajah Arvin yang mengulas senyum terenyuh padanya disaat-saat terakhirnya.

Bodoh! Hal itu membuat Rei menjadi gentar untuk memutar jalur mobilnya; ragu untuk mengembalikan tubuhnya ke tempat itu; bahkan menjadi frustasi untuk memikirkan keadaan Arvin disana.

Dan mata Rei pun terasa semakin perih saat melihat mamanya meringkuk di sampingnya. Kulitnya terlihat semakin pucat, dan nadinya semakin tidak teraba.

Bulir-bulir air mata Rei pun mulai nampak kembali. Rasanya ia ingin mati saja sekarang. Justru karena tubuhnya tak terluka sedikit pun, membuatnya semakin merasa bersalah. Ia telah dilindungi oleh orang lain, namun ia hampir tak bisa melindungi siapa pun.

Akhirnya mobil hitam itu pun tetap melesat di atas lintasannya, tanpa memedulikan pengemudinya yang tengah berusaha sekuat tenaga menahan isak tangis.

"Maafkan aku! Maafkan pecundang sepertiku, Arvin."

<<<>>>

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang