66 | Spektrum Warna (2)

9.2K 1.4K 18
                                    

<<<>>>

"Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan warna yang baru. Masa iya aku harus mengecat ulang semua suku cadang?"

Mendengarnya, Tora terbahak-bahak sambil mengacak rambut Stefan. "Sudah kubilang kan dari dulu, hitam itu lebih keren! Akhirnya kita menemukan pimpinan yang seleranya sama denganku."

Stefan hanya bersungut. Pemuda berambut coklat dan berkacamata lebar itu pun memasukkan lolipop ke dalam mulut, sementara tangannya kembali mengetik di atas papan tombol. Ia memegang kontrol dari dalam pesawat tempur, atas regu Tetha pasukan The Light yang sebentar lagi siap meluncur. "Here we go!" serunya dengan mulut dipenuhi permen, sambil menggeser tombol pemandu di layar sentuh.

Sementara itu, Galant yang bersetelan jas hitam-hitam masih menekuri sebuah foto berpigura kecil di dalam kamarnya. Berusaha menyembunyikan kehancuran hati yang tengah ia alami. Nolly terbang rendah sejajar dengan pandangannya. Robot itu adalah satu-satunya sosok yang membuat Galant tak pernah merasa kesepian. Namun sekarang, segala hal terlalu pahit untuk diingat. Pemuda pirang itu memegang Nolly dan memeluknya erat. Mungkin untuk terakhir kali.

Ingatannya meluncur pada percakapan dua individu di bangku taman. Galant dengan ayahnya, mengenakan busana serba hitam. "Ini adalah puncak di mana hidup manusia akan mengalami guncangan sekali lagi."

Kala itu, Galant terdiam. Pandangannya lurus menyeberang jalan sirkuit, menuju konstelasi gedung-gedung dan seluruh kompleks perumahan di Distrik Khusus Pasithea yang padat. Bangunan putih metalik yang semuanya terlihat seperti mainan. Bahkan dalam perspektif ini, telunjuknya masih tampak lebih besar. Ia jadi bisa membayangkan bagaimana berposisi sebagai Orang Agung. Sangatlah mudah merusak puing-puing kehidupan manusia, hanya dalam sejentik telunjuk. Dan ayahnya merupakan salah satu dari pemilik jari tersebut.

"Kau harus tahu, Galant. Kekuatan hitam telah menyeberang dari Timur. Bertandang ke mari tanpa peduli mati."

"Aku sudah tahu," sahut Galant sambil memainkan jari di udara.

King Cedric tampak sedikit kaget, namun berhasil menekan rasa penasarannya. "Dengarkan baik-baik. Dalam waktu dekat, kau akan menjadi penerusku. Aku jelas tidak bisa memegang mahkota selamanya."

Galant menutup matanya yang mulai terasa perih. Sementara King Cedric menyambung kalimatnya, "Namun keadaan Soteria yang sekarang sangat tidak stabil. Tak memungkinkan bagi kita untuk melantikmu. Kau akan pergi ke Pulau Ares bersama yang lain. Di sana, kerabat jauh kita sudah siap memberi naungan."

"Dengan begitu aku akan tetap hidup, sementara teman-temanku di sini akan mati memperjuangkan tanah airnya." Perkataan Galant barusan membuat mulut King Cedric terkatup, tak jadi berkelakar. "Aku adalah bagian dari Soteria. Aku ingin melindunginya sama seperti melindungi diriku sendiri, Ayah."

King Cedric mulai geram. Ada hal yang masih saja tidak sesuai dengan keinginannya. "Wajib militer itu telah memberimu doktrin yang salah, Galant. Kau harus memiliki pandangan yang berbeda. Jika bukan karena Hans yang memaksa, kau tidak akan kuizinkan untuk ikut sejak awal."

Galant mendengus sepatah. "Karena aku adalah keturunan bangsawan? Aku tidak ingin menutup mataku yang mulai terbuka, Ayah. Hans memang licik. Tapi ayah terlalu naif karena membiarkannya menguasai semua pandangan ayah. Tunggu dulu, kenapa dia ingin aku masuk ke wajib militer, dan bagaimana ayah akhirnya mengizinkan?"

Wajah tegang dari orang tua itu pun mengendur. Sisa memorinya kembali stabil, mengingat-ingat motif dari hasil perbuatannya sendiri. "Kami berdua sedang merencanakan sesuatu. Sesuatu yang sangat berisiko dan melibatkanmu serta anak-anak McValen lainnya. Menggunakan kelulusan dari wajib militer itu sebagai jawaban dari peruntungan kami. Saat takdir telah berkata, aku terpaksa menarikmu dari wajib militer itu. Tentu saja Hans sempat mempertahankanmu dan--"

Dahi Galant mengernyit. "Sebenarnya apa yang kalian rencanakan terhadap anak-anak McValen?"

Dan jawaban dari sang ayah membuat keputusan Galant semakin bulat. Kini ia sudah berada di kamarnya dengan perasaan yang amat berat dan lekat. "Kau sudah siap, Galant?" Suara Nolly menyadarkannya. Lelaki pirang itu tersenyum haru sambil melepas pelukannya pada si robot bundar licin. Galant memang tak bisa berharap lebih bahwa Nolly akan berempati sedikit saja terhadap perasaan manusia. Namun perintah teknis, hanya itu yang robot bisa pahami.

Tanpa buang waktu lagi, Galant segera melepas Nolly, mengambil foto dari dalam pigura, dan mengantonginya. Tak lupa, ia memencet sebuah tombol di tubuh Nolly, dan pakaian pemuda itu pun ikut berubah menjadi kemeja merah kotak-kotak dengan celana denim hitam. Persis seperti yang pernah dilakukan Alexander.

Ketukan halus datang dari luar pintu kamar. "Tuan--maksudku, Galant. Kita akan segera berangkat. Semua keluarga kerajaan sudah dibawa ke istana." Mendengarnya, anak itu menarik napas dan mengangguk pada Nolly. Begitu ia keluar, Alexander langsung terkejut dengan penampilannya. "Wow! Kukira Anda akan mengenakan pakaian yang lebih ... formal?"

Pemuda itu hanya diam melirik Nolly, menunggu saat yang tepat sampai ia bisa memberi aba-aba padanya. "Aku minta maaf, Alex. Tapi aku tetap akan pergi. Katakan pada ayah, bahwa aku bukanlah orang yang dia inginkan."

Sejurus kemudian, robot bundar licin itu mengeluarkan tangan-tangannya yang banyak, mirip laba-laba, dan menempel erat pada kepala Alexander. Pria berkulit gelap itu kelabakan memegangi kepala, seraya berteriak memanggil-manggil Galant yang sudah jauh meninggalkannya. Pemuda pirang itu berhasil berlari melewati koridor rumah, meluncur keluar dari lantai dua, persis seperti yang dilakukan Gavan malam itu. Namun Galant tidak terbang, hanya memanfaatkan sedikit kemampuan parkurnya untuk mendarat dengan selamat di atas tanah. Ia berdiri sambil memandang miris ke arah kepulan-kepulan asap dari jalan dan gedung kota. Siang menjelang sore itu, awan hitam mulai bergerombol. Seakan ada yang mengendalikannya untuk menambah kesan buruk dari langit. Galant yakin, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah. Baginya, dan bagi semua orang yang masih hidup di muka Bumi.

<<<>>>

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang