30 | Detransducer (2)

11.6K 1.7K 100
                                    

Malam itu, langkah Rei terhenti oleh suara lenguhan dan desahan dari dalam kamar Arvin. Mengetahui kejadian langka akhir-akhir ini, Rei tidak bisa berasumsi bahwa Arvin sedang melakukan "ritual normal" anak kelas satu SMA yang kadar hormonnya sedang dalam masa puncak. Rei segera sadar bahwa Arvin sedang meminta pertolongannya.

Buru-buru ia membuka kamar Arvin dan menemukan anak itu menggelepar-gelepar di atas kasur. Dengan sigap, Rei memeriksa dahi dan lehernya. Dan ternyata yang disangka pun benar, demam Arvin kambuh lagi.

"Arvin! Bagunlah, hei!" Rei menggoyang-goyangkan badan Arvin yang basah berpeluh. Paling tidak ia ingin membuka mata Arvin yang terpejam rapat saat itu membuka.

Namun yang didapatkannya ketika Arvin membuka matanya adalah, satu dari sekian banyak pengalaman aneh yang Rei tonton belakangan ini. Mata merahnya berbinar secara harfiah, dan kini hampir seterang warna kuning.

"Rei!" teriakan Nyonya Pitta dari lantai bawah terdengar samar oleh erangan Arvin, namun cukup membuat Rei berjingkat ketakutan. "Ada apa di atas sana?"

Rei segera berlari keluar-ke arah pagar tangga lantai dua-dan menemukan mamanya tertahan di kursi roda dengan tatapan menyelidik.

"Bu-bukan apa-apa, Ma. Kami hanya bercanda, dan aku terlalu keras memukul Arvin tadi." Meski diakuinya sendiri ia tak pandai berbohong, tapi untunglah kali ini mamanya percaya begitu saja pada ucapan Rei tersebut.

Sekembalinya Nyonya Pitta ke kamarnya, Rei segera menutup pintu kamar Arvin dari dalam agar suara berisiknya tidak bocor. Tapi usaha itu tak berarti apa-apa. Jendela kamar Arvin yang mengarah keluar rumah, terbuka sudah. Sama menganganya dengan mulut Rei yang tercengang. Yang terburuk adalah sosok Arvin tidak lagi ada di kamarnya.

Jantung Rei berdesir. Ia segera ambil langkah cepat menuju jendela itu dan melongok keluar. Tidak seorang manusia pun yang berkeliaran di jam 11 malam seperti ini. Tidak, kecuali Arvin yang mendadak lenyap dari peraduan. Pergi kemanakah anak itu?

Rei bergegas turun tangga sambil berusaha menghubungi Arvin melalui uniget. Kakinya melambat, berjalan dengan hati-hati ketika sampai di lantai bawah. Tentu ia tak ingin membuat mamanya kembali penasaran, atau keadaan akan semakin runyam.

Sampailah Rei di jalanan belakang rumah yang sudah masuk blok lain di perumahan itu. Panggilan Rei dari unigetnya masih berlangsung. Sampai akhirnya ia mendengar sayup-sayup nada dering dari kejauhan. Suara tersebut mengarahkan kakinya ke tempat dimana sebuah uniget tergeletak begitu saja di rerumputan. Rei memungutnya dan menyadari bahwa uniget itu adalah milik Arvin.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Dibantu oleh lampu jalan, matanya berhasil menemukan sesuatu di rerumputan yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Rei berpindah untuk memungut benda yang tak lain adalah jaket yang tadi dikenakan Arvin. Dahi Rei mengernyit, memandang jaket itu dengan tatapan ganjil. Termasuk pada pakaian Arvin yang lain, yang berjajar acak mengarah ke suatu tempat, kolam renang terbuka.

Rei berlari serampangan sambil mengambil pakaian-pakaian itu. Mulai dari baju, kaos singlet, celana, dan... yah... lebih baik untuk tidak disebutkan.

Rei mendekat ke kolam renang dengan gemetar. Apa yang didapatkannya adalah gejolak air kolam yang membentuk luapan gelombang cukup besar, diiringi dengan munculnya sesosok manusia yang membuat Rei lebih waspada.

"A-Arvin, apa yang terjadi padamu?"

Arvin nampak masih megap-megap-seperti ikan yang kehabisan napas di daratan-seraya mengusap sisa air yang mengaliri matanya.

"I don't know," jawabnya dengan suara parau, "sebelumnya aku... aku merasa seperti dibakar oleh api-entah darimana itu. Dan... ingatan selanjutnya, aku tiba-tiba sudah ada di kolam ini." Arvin nampak mulai menggigil, dengan hanya leher dan kepalanya saja yang kelihatan terapung-apung di permukaan.

Rei menghela napasnya. Ia bisa sedikit lega karena nampaknya mata dan kesadaran Arvin sudah kembali seperti sedia kala. "Oke, sudah cukup mendinginkan tubuhmu disana?" seloroh Rei sambil menyodorkan tumpukan pakaian Arvin di tangannya.

Arvin tertawa dengan bodohnya, "Thanks a lot. Aku sempat bingung, bagaimana caraku keluar dan memakai pakaianku kembali tanpa kepergok telanjang bulat."

Arvin akhirnya memanjat tangga besi di tepi kolam renang, dan setelahnya adalah proses ia memakai pakaiannya.

"Oke, aku rasa tubuhmu melakukan reaksi yang buruk terhadap sesuatu, Arvin," ucap Rei di tengah rikuhnya ia yang berusaha untuk tidak melihat ke arah Arvin. Siapa yang sudi menontoni teman sejenisnya sedang berganti pakaian?

"A-apa yang sebenarnya terjadi padaku, Rei?" balas Arvin, seolah lawan bicaranya mengerti jawaban atas pertanyaannya yang teredam oleh rasa takut tersebut.

"Maka dari itu, kita harusnya mencari tahu dari dulu," gumam Rei sembari melangkahkan kakinya untuk kembali pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, mereka sudah disambut dengan tatapan interogatif milik Nyonya Pitta. Di luar dugaan Rei, mamanya ternyata mengetahui mereka berjalan ke luar rumah di tengah malam begini. Ketakutan itu membuat kalimat-kalimat kebohongan bermunculan di benak mereka berdua.

"Oh-umm, kami hanya bermain truth or dare, Ma. Dan aku mendapat hukuman untuk mencebur ke kolam," kilah Arvin dengan gerakan-gerakan tangan khasnya.

Rei pun segera mendorong kursi roda mamanya agar kembali ke dalam rumah. Ia berharap mamanya bisa percaya. Untunglah, nyonya Pitta masih bisa menahan keingintahuannya kali ini.

"Besok pagi kalian harus ke sekolah. Jadi, jangan main terus, cepatlah tidur!" Akhirnya nyonya Pitta memutar roda kursinya sendiri dan melenyap ke kamarnya di lantai satu.

Rei dan Arvin menghembuskan napas lega bersamaan.

Di kamar Arvin, Rei segera membuka unigetnya dengan melakukan manuver jari, merubahnya menjadi sebentuk papan dada semitransparan dan bercahaya.

Sementara Arvin menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk, lalu merebahkan tubuhnya di kasur, siap dengan sebuah pembahasan.

"Kau tahu, semua berawal ketika aku mengamati kalung ini," ucapnya sembari menodongkan kalung perak pada Rei, "tiba-tiba benda ini bercahaya, kemudian aku merasa tubuhku seperti tersengat listrik, yang panasnya minta ampun rasanya. Persis seperti insiden manusia terbang waktu itu. Di tengah rasa terbakar itu, rasanya aku benar-benar ingin menghajar seseorang, entah kenapa. Kemarahanku terhadap sesuatu seperti berkumpul jadi satu. Aku menahannya dan sepertinya amarah itu malah balik menyerangku dengan panas yang berkali-kali lipat. Dan di saat itulah, kau datang. Kalau saja tidak ada kesempatan bagiku untuk kabur, mungkin aku akan..."

"Oke, oke, kau mulai membuatku takut," potong Rei tajam, "dengar, aku akan bacakan isi website yang membahas tentang pyrokinesis. Kuharap kita bisa menemukan petunjuk dari sini," ucap Rei sambil memainkan jarinya di uniget. Arvin mengangguk dan menyimaknya sambil tiduran.

"Jadi, pyrokinesis adalah kemampuan mengendalikan panas untuk mewujudkan api. Seperti cabang kinesis[*] lain, pyrokinesis dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan aliran energi tubuh yang disebut aura. Sedangkan pengendalian aura hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah berhasil membuka chakra-yaitu anyaman saraf yang merupakan simpul-simpul penghasil energi di bagian tubuh tertentu. Membuka chakra dapat dilakukan dengan cara meditasi, yoga kundalini[**], dan teknik pernapasan. Namun, ada sebuah cara yang bisa memaksakan chakra untuk terbuka, sehingga kita bisa mengendalikan aura atau energi tubuh dengan instan. Yaitu dengan jalan, menyalurkan energi yang sangat besar ke dalam tubuh untuk memicunya keluar. Ibarat sumbatan di aliran sungai yang dihempas oleh gelombang besar, sumbatan itu bisa terbuka dengan cara paksa. Namun hal ini sangat berisiko, karena bisa membuat tubuh menjadi tidak seimbang, bahkan bisa sampai meregang nyawa penggunanya."

Rei mengakhiri bacaannya dengan khidmat, terutama di bagian mana ia harus merinding ketika membayangkan kematian. Namun yang didengarnya pertama kali adalah suara dengkuran pelan dari Arvin.

Sial, jadi selama itu tadi Rei hanya berbicara dengan bukan-siapa-siapa.

[*] Kinesis : kemampuan menggerakkan benda-benda murni dengan pikiran, tanpa mantra-yang membedakannya dengan sihir.

[**] Kundalini : kekuatan mistis yang dipercaya merupakan sumber kekuatan manusia secara metafisik. letaknya ada di sumsum tulang belakang bagian bawah (dekat tulang ekor).

<<<>>>


HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang