Epilog

22.7K 1.7K 300
                                    

Pasukan terakhir yang membawa sang dalang pun telah datang. Dvhl, Natasha, serta Gavan muncul dari badan pesawat yang memuat turun mereka hingga sampai di hadapan gedung putih. Gavan masih tak percaya, hari ini pun akhirnya datang juga. Kemenangan Dvhl membuat gerbang menuju cita-citanya kian terbuka lebar.

Namun, saat menjejakkan kaki, sesuatu terasa sangat rumpang. Tanah kelahirannya kotor dipenuhi debu. Soteria tampak kusam dengan kepulan asap dan kabut tebal. Gavan menggeleng cepat. Prinsip harus tetap mengambil alih. Ia telah berjanji untuk membersihkan dunia ini dari kotoran diktator yang tidak kompeten. Dan setelah itu berhasil, barulah membersihkan debu-debu di wajah Soteria tidak akan menjadi poin yang sulit.

Memasuki gedung putih, Dvhl berdiri sebentar di tengah ruang tamu, mengamati bagian dalam istana tersebut. Ia terkekeh sambil berjalan pelan mengitari singgasana yang biasanya hanya menjadi pajangan di ujung tempat itu. Gavan tahu ayahnya sangat jarang duduk di sana. "Ya ... sepertinya aku harus membiasakan mataku dengan warna-warni yang menyilaukan. Kapan-kapan kita dekor ulang tempat ini kalau kau tidak berkeberatan."

Gavan hanya mengangguk kecil menjawab Dvhl, sampai sesuatu tiba-tiba mengagetkan seisi ruangan. Dari balik tirai merah, King Cedric keluar dari tempat persembunyian. "Akhirnya, kita semua bisa bertemu di tempat ini."

Semua transducer dan manusia terbang dari blok hitam yang ada di situ segera berkuda-kuda. Posisi mereka tak ubahnya seperti orang-orangan catur yang mengepung satu bidak putih. Satu-satunya yang tersisa. Namun Dvhl masih bisa menaruh hati, dan mau mendengarkan pengakuan terakhir dari raja tersebut.

"Kemana saja kau selama ini?" lanjut King Cedric.

Senyum sengit tercipta dari mulut pucat Dvhl. Tampaknya ia akan menikmati debat sore ini. "Kau masih mengenalku dengan baik, Cedric. Selama ini? Tentu aku sedang mempersiapkan diriku. Dan sekarang, saatnya menata kembali segala hal yang telah kau hancurkan dari duniaku."

Orang tua berbaju putih dengan mahkota merah pun berjalan pelan dan masih menjadi pusat perhatian di tengah ruangan. Dvhl mau tak mau mengikuti caranya. Berjalan melingkar, berseberangan sambil saling meluncurkan pandangan tajam. King Cedric membuka mulut. "Kepercayaan dirimu sangat luar biasa. Kita lihat, apakah dunia akan jauh lebih baik setelah kepergianku?"

Pria berdahi gundul yang tertutupi mahkota hitam dengan dua cuping tajam di sisi kanan dan kirinya, berdecak remeh. "Tunjukkan kekuatanmu yang sebenarnya! Akan kubuktikan bahwa kita bisa menyelesaikan semuanya sekarang, di tempat ini."

"Jadi kau berpikir aku sudah kehabisan akal, begitu?" King Cedric bergeming dan melirik sekitar. "Satu melawan sepuluh. Kau benar-benar tak tahu malu."

Dipenuhi amarah, Dvhl melesatkan bintik-bintik hitam yang sangat banyak dari balik jubahnya. Fragmen partikel nano yang hampir membunuh Gavan waktu itu, kini berputar membentuk pusaran menuju King Cedric. Gavan sedikit panik, mengetahui ayahnya hanya diam tak bereaksi. Namun zarah-zarah hitam itu segera bertolak naik ke langit-langit istana yang amat tinggi. Dari sana, berdentanglah pecahan logam dan kaca yang langsung berjatuhan, sebagai remah-remah yang menghamburkan sosok King Cedric di udara.

"Kita akan bertemu lagi." Salam terakhir yang membuat dada Gavan bergejolak. King Cedric sengaja tersenyum dan menoleh ke arah putranya. Pemuda pirang itu terkejut sekaligus lega menyadari bahwa yang ia hadapi barusan hanyalah proyeksi maya dari alat komunikasi jarak jauh.

"Urusan kita masih belum selesai," Dvhl menggeram di tempatnya, "cari mereka semua sampai ketemu!"

<<<>>>

Arvin menopang bahu pada pagar buritan kapal pesiar, memandang lurus ke depan. Yang dihadapinya hanya semilir angin dari arah belakang yang entah bagaimana terasa sedikit asin seperti air mata. Mungkin karena di bawah, laut sedang diuapkan oleh terik-terik matahari.

"Arvin?" Carrie tak bermaksud mengganggu renungannya. Hanya, gadis itu barusan takut kalau Arvin menghilang kabur untuk melakukan hal-hal yang tak terduga. Baru kali ini pemuda ikal tersebut tampak redup di mata Carrie. Anak itu tak ubahnya seperti matahari di atas sana yang tertutup oleh awan tipis, merangkak menuju Soteria, tanah air yang sedang mereka tinggalkan.

"Sampai kapan kita akan menghadapi kematian?"

Carrie bersandar di pagar, tepat di samping kanan Arvin dengan tubuh berlawanan arah dengannya. "Sampai diri sendiri mati, kau akan terus menghadapi kematian orang-orang di sekitarmu."

Arvin tersenyum haru. Namun mata merah gelap itu tak pernah berpaling dari birunya air laut. "Sepertinya aku sedang sesak oleh pertunjukan kembang api."

Carrie membalik badan, bertopang dagu pada pagar putih di sekeliling permukaan belakang kapal yang bergerak perlahan ke arah Tenggara. "Tenang saja, kau akan selalu bertemu dengan udara segar agar bisa bernapas kembali."

Belum jenak bercakap-cakap, dari arah belakang terdengar suara batuk-batuk yang memang disengaja. "Ahem. Jangan lupa, Galant masih ada di sini, Carrie." Suara tenor Belva membuat kedua anak remaja di sisi buritan itu bertolak badan.

Wajah Carrie mengeras karena malu disambut tawa dari anak-anak yang lain. "Chef Lisa akan membuat makan malam. Mau ikut menentukan menu?" Ken memberitahukan maksud kedatangan mereka ke mari.

"Kurasa aku bisa makan apa saja," ucap Arvin tersenyum lebar. Ia bahkan baru sadar, hampir tiga hari perutnya tidak mendapatkan makanan yang layak.

"Bagaimana kalau filet mignon?" Belva menjawab duluan.

"Sudah kubilang aku ingin makan sukiyaki atau sashimi." Sora segera menyahut dengan wajah cemberut.

Sementara Rei di antara mereka menaikkan kacamata. "Sebaiknya memilih makanan yang lebih banyak glukosa dulu untuk mengembalikan energi."

Anak-anak itu masih ribut dengan debat kusir mereka, sementara sisanya hanya diam memandangi sambil sesekali mengelus jidat. Ken dibuatnya tertawa geli. "Setelah semakin lama kenal, aku jadi tahu bahwa kalian berenam benar-benar unik."

Berkat Ken, mereka sadar telah mempermasalahkan hal kecil yang sangat tidak penting. "Yup!" Arvin segera merangkul bahu Ken dan Galant bersahabat. "Tapi kami tetap bisa melakukan semua hal bersama-sama."

"Wah ... lihat itu!" Sora tiba-tiba berseru takjub sambil menunjuk ke arah langit. Ketujuh remaja itu akhirnya tertarik untuk memandangi atap dunia sekaligus mendekatkan diri ke tepi pagar kapal.

Jutaan spektrum warna saling berpelukan di atas awan. Membentuk lengkung tipis dari pantulan rintik prisma sferis yang mendifraksi cahaya tampak. Pelangi datang menyambut sebuah perjalanan panjang.


Fin

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang