26 | Membuka Jubah (5)

12.5K 1.9K 85
                                    

[Jalan Aigeus, Pasithea]

Di kamarnya, Arvin merebah begitu saja di atas kasur yang rasanya lebih empuk dari biasanya. Tubuh itu letih dihajar kegiatan. Namun yang ia dapatkan dalam kelengangan itu justru rasa yang serba tidak nyaman. Detak jantungnya serasa lebih cepat dan perasaan cemas melayang-layang di kolom pikirannya.

Ini minggu yang berat. Ia teringat dengan ungkapan pedas dari mulut teman-temannya saat ia salah mengira Galant adalah pelaku pengeboman Colosseum. Kepercayaan yang menyusut dari teman-temannya sedikit-banyak mampu melemahkan jiwa optimisme yang selalu ia pelihara. Termasuk, bagaimana Carrie menduduki peringkat pertama kegalauan Arvin. Wajah kecewa bercampur amarahnya waktu itu bagaikan cemeti yang senantiasa memecut dada.

Di poin lain, Arvin hampir melupakan kekuatan ajaib yang membuatnya masih bertanya-tanya sampai sekarang. Apa benar kekuatan itu hanya muncul secara kebetulan? Atau jangan-jangan waktu itu Arvin hanya bermimpi indah dan mengigau?

Ia mulai menimang-nimang lagi liontin perak sebesar kepala ayam itu. Pandangannya telah berubah. Semula hanya ada kesedihan yang merayap dari balik liontin itu. Namun kini justru rasa penasaran akan enigma baru pun ikut bergetar keluar.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Pelan, menampilkan sosok Rei yang segera menyeka keheningan.

"Butuh teman bicara?" tanyanya di gawang pintu, lantas menenggak minuman dingin yang didapatkannya dari kulkas.

Tanpa merubah posisinya, Arvin bergumam, "Masuklah."

Rei meletakkan gelas itu di atas meja, sembari merebahkan punggungnya sejajar dengan Arvin. Yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah menunggu, tak peduli adanya kekosongan dalam dialog mereka.

Arvin melirik sebentar ke arah Rei, siapa tahu dia tertidur dalam jeda sepanjang itu. Ternyata matanya masih ketap-ketip.

"Pernahkah kau tahu perasaan yang menggebu namun sangat sulit untuk diungkapkan, Rei?

Akhirnya, Rei mendapatkan suara Arvin, "Uhm, ya. Itu yang biasa orang sebut suka; alias cinta; alias apalah itu."

"Oke, well." Arvin berdehem membersihkan kerongkongannya, "menurutmu apa aku terlihat seperti pengecut?"

"Uhm, tidak juga. Definisi pengecut adalah orang yang gagal bahkan sebelum berusaha. Paling tidak kau sudah berusaha membuktikan dirimu benar di hadapan orang lain, walaupun pada akhirnya kenyataan berkata lain."

Arvin menutup matanya, "Kau tahu, aku melakukan banyak sekali hal bodoh hanya karena ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi..."

"...terutama Carrie?" sahut Rei. Arvin bergeming dan tak bisa menjawab. Tandanya Rei berhasil menebaknya.

Rei memburu dialognya, "Aku tidak bermaksud buruk, tapi sadarilah bahwa ini adalah sebuah ironi. Sampai kapan kau mengagungkan cinta-pada-pandangan-pertamamu, Arvin? Ayolah, kau masih ingat dengan Elena saat kelas dua SMP, kan? Kisah cinta kalian hanya berumur satu minggu. Itu cinta monyet."

Baru kali ini Arvin hanya bisa menumpahkan teriakannya dalam diam. Ia tak tahu cara untuk berbicara. Yang jelas perkataan Rei itu cukup menohok, membuat dadanya riak bergemuruh.

Rei berkata lagi, "Apa aku boleh menyarankanmu untuk tetap bergerak maju, meninggalkan mereka berdua?"

"No!" seloroh Arvin memutuskan untuk membungkam mulut Rei, namun kemudian suaranya melemah dan sorot matanya layu dirasuki keputusasaan, "Entah apa yang kupikirkan. She is different. Dan aku rasa aku masih punya kesempatan untuk mendapatkannya. So, don't bother me with that nonsense advice," ucapnya dingin.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang