38 | Kembang Api (2)

10.5K 1.6K 76
                                    

Kini keadaan berbalik. Nico mengerut ketakutan, sementara Arvin dengan langkah hati-hatinya membuat Nico perlahan mundur. Nico menelan ludahnya yang terasa seperti bola golf itu saat Arvin mulai menengadahkan kedua tangannya rendah dan memunculkan api dari kedua tangannya. Detak jantung Nico beradu dengan keluarnya keringat dingin.

Tiba-tiba, air menyembur dari atap dan menghujani tubuh mereka sampai kuyup. Api yang diciptakan Arvin pun mau tak mau padam, bersamaan dengan warna kuning di matanya yang kian memudar. Arvin seketika mengambruk lemas. Kepalanya terasa pusing dan berputar, sementara persendiannya lunglai. Setengah sadar, ia melihat Nico berlari terbirit-birit ke luar dari toilet sekolah tersebut. Sementara Rei yang selesai memutar keran shower, kini berlari menuju Arvin.

"Kau serius?! Menggunakan kekuatanmu di depan Nico adalah ide terbaik yang pernah kau pikirkan," ucap Rei dengan nada sarkastik, tak memedulikan Arvin yang sedang berusaha mengembalikan kesadarannya.

"Aku... bahkan tidak tahu apa yang telah kulakukan, Rei," keluh Arvin sembari menyeka wajahnya yang masih berair serta mengumpulkan tenaganya yang tiba-tiba terkuras.

"Ini gawat, aku tak yakin Nico akan tinggal diam dengan kejadian ini." Rei berkelakar dengan volume rendah yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

[McValen International School, 17 Agustus Z-57]

Sehari berlalu, dan McValen telah disulap menjadi wahana akbar dengan segala gegap gempita dies natalies.

"It's the day...!" Belva merentangkan kedua tangan, menyembul di antara kerumunan manusia. Suara musik bahkan sempat lunak oleh teriakannya. Ia dan kawan-kawannya kini sedang berkeliling memeriksa satu per satu kedai makanan yang menghiasi lapangan McValen.

Sudah menjadi hukum mutlak bahwa yang paling bersemangat dalam acara ini adalah Arvin. Anak itu membiarkan french fries berjubel di dalam mulut, sementara tangannya penuh dengan potongan pizza, barbeque, pai daging, dan segelas cocktail. Sementara matanya masih mencari-cari celah antrean untuk mendapat makanan lain.

Arvin setengah terkaget karena mendapati Nico sedang berdiri di dekat situ dan menatapnya tajam. "I'm not afraid with you," bisiknya tegas namun dengan suara sedikit bergetar. Kentara sekali jika ia memaksakan diri untuk menutupi ketakutannya.

Arvin buru-buru menelan kentang gorengnya. "A-aku minta maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi," ucap Arvin kaku. Sebetulnya ia pun merasa takut dengan Nico, karena ia telah memegang "kunci emas" dari pintu kelemahan Arvin. "But please don't tell anyone, okay?"

Wajah Nico berubah. Ia tersenyum licik seperti biasanya. "Kau beri tahu aku cara untuk mendapatkan kekuatan itu, dan aku akan tutup mulut."

"What?!" Arvin menoleh ke sekitarnya, takut jika percakapan mereka terekam oleh orang lain. Bagaimana pun mereka berada di tempat umum. "Jangan keras-keras, bodoh!"

"Jadi? Kau akan memberitahuku, kan?" ucap Nico memelankan suaranya sambil menepuk bahu Arvin. Arvin sedikit terkejut dengan perubahan ekspresi Nico yang lebih bersahabat. Bersahabat jika ada maunya.

Di dalam hati, Arvin menimbang perkataan Nico. Di samping ia masih tak tahu cara untuk mendapatkan kekuatan aneh ini, Arvin juga tak mau jika Nico sampai ikut-ikutan merasakan sengsara yang selama ini dirasakannya. Nico tidak tahu apa-apa tentang kekuatan ini. Yang dilihatnya hanyalah proyeksi dari keinginannya. Menjadi hebat, menyaingi Arvin, dan mampu melakukan apa pun.

"Nope, I won't." Akhirnya Arvin menjawab dengan tegas. Mendengar jawaban negatif dari Arvin, Nico kembali murka.

"Kau egois, Arvin," tukas Nico sambil selangkah memundurkan kaki. "Kita lihat saja, berapa lama kau akan menyimpan kekuatan itu untuk dirimu sendiri. Aku akan membuatmu menyesal memiliki kekuatan itu. Camkan baik-baik! Senjata pun bisa memakan tuannya, Arvin." Nico meninggalkan seulas kesan buruk seraya bergabung dengan Feris dan Kayle yang ikut memandangnya dengan tatapan licik dari kejauhan. Padahal Arvin hanya ingin melindungi Nico dari ancaman detransducer dan pengalaman yang tidak menyenangkan mengandung kekuatan ini dalam tubuhnya.

<<<>>>

"Kau ini makan terus, tapi badanmu tidak kelihatan gendut, ya? Enak sekali," tanggap Sora membuat Arvin menjadi bangga. Memiliki tipe tubuh bermetabolisme cepat adalah anugerah bagi beberapa orang.

"Of course. Aku kan rajin fitness," jawab Arvin menaikkan alis dengan mulut masih tersumpal kentang goreng.

"Ya, hanya jika tidur siang dan malas-malasan masuk dalam kategori olahraga, kalian bisa percaya padanya," bisik Rei dengan suara keras kepada forum, antara mengalahkan suara speaker, atau memang sengaja supaya Arvin mendengarnya.

Melihat gelagat Carrie yang nampak memaksakan senyum, Arvin mengajaknya bicara, sementara yang lain sibuk menonton pertunjukan pembuatan mie lamian. "Something wrong?" Raut wajah Carrie malah semakin tertekuk.

"Kau merasa gugup dengan pesta nanti malam?" tebak Arvin dengan santai, padahal pikirannya jadi terganjal oleh masalah itu lagi. Arvin belum dapat pasangan dansa sampai sekarang. Dan mungkin festival makanan akan menjadi kebahagiaan terakhirnya dalam seharian ini, karena sisa waktu selanjutnya akan dihabiskan hanya untuk mendekam di rumah.

Carrie tersenyum jenaka, "Tidak juga."

"Hmm?" Arvin meminta penjelasan.

"Justru rasa gugupku menghilang. Karena aku tidak jadi pergi ke pesta dansa."

Arvin berhenti mengunyah, lalu memfokuskan matanya pada wajah Carrie yang redup. Ada yang tidak beres, dan buru-buru Arvin menyalahkan Galant.

"Why? Kalian sudah memutuskan untuk pergi bersama, bukan?" suara Arvin meninggi. Kerelaan yang dulu ia berikan kini terasa sia-sia.

"Tadinya begitu." Carrie tersenyum tipis. "Tapi Galant ternyata memiliki urusan yang membuatnya harus membatalkannya. Aku tidak bisa mengganggunya."

Secercah harapan seketika berbinar kembali di benak Arvin. "Hmm, k-kalau begitu-"

"Mungkin mengajakmu sekarang adalah caraku untuk meminta maaf tentang malam itu di telepon," kata Carrie hampir membuat Arvin berteriak histeris jika ia tidak ingat kondisi. Bahkan ancaman Nico mendadak lenyap dari ingatannya.

"Kau tahu," ucap Arvin masih dalam perasaan euforia, "saking frustasinya, aku sampai menawarkan hal itu pada Carl. Siapa tahu dia juga tidak punya pasangan dansa, kan?"

Carrie tergelak menahan tawa. "Serius? Kalian akan menjadi pasangan yang fenomenal di ballroom. Dan apa jawaban dari Carl?" ucap Carrie penasaran.

"Ya, tapi tebakanku meleset. Jadi, Carl sudah dengan Michele, entah yang A atau yang B-aku lupa. Yang jelas waktu itu aku jadi berpikir, bahwa tidak ada orang yang lebih bodoh dari diriku di muka bumi ini." Mendengar pernyataan Arvin yang ekspresif membuat Carrie semakin terpingkal-pingkal dan menepuk bahu Arvin berkali-kali. Arvin merasa bersyukur bisa mengembalikan tawa seorang gadis yang selalu membuatnya ingin tetap berada di sampingnya.

<<<>>>

Tuan Wira tengah mengecek pistol dan menyelongsonginya di ruangan tengah. Melihat itu, membuat Sora berkerut kening dan memutuskan untuk menghampirinya. "Bukankah ayah sedang ambil cuti?"

Tuan Wira sedikit kaget sebelum menyambut anak gadisnya-yang baru pulang dari sekolah itu-dengan seulas senyum tipis. "Ayah hanya ingin mengecek barang-barang ayah," jawabnya sambil buru-buru merapikan senjata yang berserakan di atas meja. "Oh, dan ayah akan berkunjung ke sekolahmu nanti malam." Tuan Wira kini menatap Sora.

Perasaan gadis itu mulai tidak enak. "M-maksud ayah?"

"Hanya ingin memastikan bahwa pesta itu aman, dan tidak ada yang mengganggumu, oke?" Tanpa berlama-lama, Tuan Wira bertandang pergi.

"Tunggu! Ayah sudah berjanji untuk percaya pada Rei," sergah Sora.

"Ya. Tapi bukan berarti aku tidak bisa pergi ke tempat itu," jawab Tuan Wira sebelum tubuhnya benar-benar menghilang dari balik pintu.

Sora mendengus kesal. Ini sungguh menyebalkan. Ayolah, dia hanya ingin satu malam saja tanpa ayahnya.

<<<>>>


HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang