17 | Arvin (3)

16.9K 2K 263
                                    

ini tidak adakah yang berkabung atas kematian Arvin?
Yaudah deh, author mau bikin si Arvin tetep mati aja, biar Galant yang menggantikannya jadi tokoh utama #maklampirlaugh
"Thor, lu kurang ajar banget, ye! kontrak gw kan blm abis!" sambil mukul author pake meja hologram, "Duh banyak maunya lu, Vin. Minggir-minggir, gw mau ngaplot kelanjutannya nih." sambil mencet-mencet backspace.

===============================================================================

[Istana Kenegaraan, Soteria]

Sinar matahari terlihat menembus dinding-dinding yang berhiaskan kaca warna-warni semitransparan. Titik-titik debu nampak berdifusi di udara yang dilewatinya. Sinar-sinar itu memberkas pada sebuah meja besar berwarna coklat tua di tengah ruangan.

"Apa yang telah diperbuat oleh The Lights sudah merupakan bukti bahwa Negeri Cahaya tidak bisa menjalin persahabatan lagi dengan Soteria. Sikap mereka yang arogan seolah-olah mereka mampu mengalahkan dunia dengan mental cetek seperti itu," ucap seorang pria paruh baya yang berhidung mancung dengan berapi-api.

Seorang wanita seumuran bernama Beneta menoleh pada pria berhidung mancung, "Ya, untuk kali ini saya setuju dengan Perdana Menteri Hans. Kita terlalu lunak dan selama ini diremehkan oleh semua pihak. Kita ini punya kekuatan besar. Tapi malah menggunakannya untuk memanjakan diri. Persis seperti sekarang ini. Apa gunanya punya teknologi supercanggih, tapi runtuh hanya dengan pukulan anak kecil. Saya rasa, sudah saatnya kita memperingatkan mereka untuk tidak main-main dengan Soteria."

Sejenak ruangan yang dipenuhi oleh para pria dan wanita tua itu berdengung. Mereka berdebat kecil mengusulkan pikiran masing-masing.

"Kita tidak bisa melakukannya. Hal itu melanggar hukum perdamaian," tukas King Cedric-yang duduk di kursi paling ujung tengah-menghentikan para tetua untuk berbicara dengan orang di sebelahnya.

"Sudah kukatakan berkali-kali, jangan pernah buru-buru melempar bumerang, ketika kita tidak siap untuk menangkapnya," sambung King Cedric menegaskan.

"Oh, ayolah, Cedric. Aku rasa kau hanya berbelas kasih terhadap mereka. Sampai kapan kamu akan melibatkan perasaanmu dalam perang ini?" suara cempreng seorang pria tua lain-yang di depannya terpampang papan nama bertuliskan Dmitri Ranzalvadi-itu melengking.

King Cedric nampak ragu dan tidak menjawabnya. Mungkin perkataan Tuan Dmitri ada benarnya.

Perdana Menteri Hans menyunggingkan senyum setengahnya, "Saya rasa kita masih perlu mendengar pendapat yang lain, mengingat kita bukan negara monarki absolut. Silakan dari lembaga yudikatif?"

Seorang pria yang secara maya ditunjuk oleh Perdana Menteri Hans berdehem, dan segera angkat bicara, "Ya, saya rasa kita tetap perlu berjaga-jaga. Hal ini semata-mata hanya untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan perdamaian dunia."

Kehadiran seorang pengawal kerajaan-bertuksedo hitam-dari balik pintu, memotong perhatian seluruh peserta sidang.

"Mohon maaf atas interupsi dari saya. Ada seseorang yang memaksa ingin menemui King Cedric di ruang tamu," ucapnya seraya membungkukkan badan.

King Cedric tak mengambil waktu banyak untuk berdiri dan membungkuk sebentar pada forum, sebelum ia pergi meninggalkan ruangan itu. Walaupun pikirannya masih berkecamuk, ia rasa ia masih bisa mempercayakan sidang itu pada Perdana Menteri Hans.

Di ruang tamu, sudah ada seorang pemuda yang tidak asing lagi baginya. Pemuda berambut pirang dan disisir ke belakang dengan pomade tebalnya itu mondar mandir sambil melihat-lihat patung, lukisan, dan segala pernak-pernik yang mengisi rancang bangun ruang tamu yang menurutnya artistik itu.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang