71 | Spektrum Warna (7)

14.6K 1.5K 101
                                    

"Lalu, Pak," Rei segera mengambil perhatian tanpa menunggu, "mengapa Bapak tidak memberitahukan kepada kami sebelumnya? Maksudku, semua penelitian yang melibatkan manusia memiliki syarat etik yang berat dan informed consent, bukan? Seharusnya ada penjelasan dari Bapak, dan persetujuan dari kami sebagai pihak responden."

Tuan Kendrick mendesah. "Jujur ini adalah kesalahan besar yang tidak patut kalian tiru. Orang yang barusan keluar tadi, punya posisi yang cukup terpandang di Perserikatan Internasional. Aku tidak mengerti lagi dengan serikat yang telah banyak diselewengkan itu. Dengan mudah Hans memanipulasi semua berkas administrasi yang diperlukan dalam penelitianku. Termasuk memengaruhi ayahmu, Galant. Dan sebenarnya, otak dari semua ini, yang berambisi besar untuk memanfaatkan transducer sebagai pelindung negara adalah dia, kakakku sendiri. Aku hanya sekadar menjalankan fungsiku. Kurasa, saatnya aku mewakilkan kata maaf pada kalian. Dari diri pribadi maupun dari kakakku."

Semuanya tercenung. Masing-masing sudah pasti berpikir bahwa semua yang ada di ruangan ini pada akhirnya hanyalah boneka yang siap diperalat oleh satu orang. Si manusia yang mengendarai awan kekuasaan dan mampu menyambarkan petir sesuka hatinya.

Petir benar-benar tersambar secara harfiah di jalanan sekitar Distrik Khusus Pasithea. Kegelapan langit mengumpul di satu titik awan membentuk semacam vorteks[*], sementara tangan seorang transducer pria yang berdiri di atap gedung tinggi menengadah ke arahnya.

[*] Vorteks: gambaran spiral dari suatu aliran fluida (zat cair) yang berputar. Seperti bila menuang pewarna cair pekat ke minyak bening dalam gelas, lalu mengaduknya dalam putaran sendok.

Dengan satu hentakan cepat ke tanah, satu kilatan cahaya dengan jarak beberapa ratus meter dari tempatnya berdiri terpekik dahsyat, menghubungkan langit dengan bumi yang sangat sulit untuk disatukan. Loncatan elektron-elektron superbanyak dan supercepat itu mengganggu aliran listrik di sekitarnya. Melumpuhkan separuh bagian kota, hingga gelap benar-benar mengendap.

"Bagaimana dengan keluarga kami, Pak?" ucap Carrie dengan hati gundah di dalam ruangan Tuan Kendrick yang mendadak remang.

"Kami sudah mengurus mereka, sebaik yang kami bisa," jawab pria itu mulai mengajak anak-anak untuk berdiri. Ruangan terasa hening. Gramofon yang sedari tadi membuat kepala Arvin pusing pun berhenti berputar. Suaranya digantikan oleh gema guntur dari arah luar.

"Apakah kami bisa bertemu dengan mereka sekarang?" Pertanyaan Rei tersebut dijawab oleh kilatan listrik alami yang ketiga. Dan orang-orang berpakaian polisi pun menyeruak masuk untuk membawa keenam anak itu ke luar.

Tuan Kendrick mengikuti mereka dari belakang, dikawal polisi yang sedari tadi sudah siap mengamankan lokasi sekolah. "Maaf, Rei. Mungkin kalian baru bisa bertemu dengan mereka setelah pertempuran ini selesai."

Jawaban itu membuat pemuda berkacamata miris. Rei belum sempat mengucapkan apa pun pada mamanya. Dan sekarang, ia dipaksa untuk ikut taruhan. Apakah setelah pertempuran ini, mereka masih bisa dipertemukan kembali di dunia yang sama? Rei tambah tak sanggup jika harus membayangkan kondisi mamanya yang masih belum bisa berjalan sempurna.

Sesampainya di lapangan belakang aula sekolah, mereka sudah dicegat oleh para manusia terbang. Barisan polisi yang dibantu oleh humandroid dengan sigap melindungi orang-orang di belakangnya. Mengadukan peluru mereka dengan milik komplotan The Lights. Berdesing-desing seperti pertunjukan senjata di tahun baru.

Tangan Arvin merasa gatal untuk membangkitkan pirokinesisnya. Sudah lama ia tidak menembakkan bola-bola api ke wajah seseorang. Namun Tuan Kendrick yang mengetahui gelagatnya, segera menghentikan tangan pemuda itu. "Jangan menghabiskan energimu sekarang. Kekuatan kalian akan kami persiapkan untuk menghadapi sesuatu yang lebih besar. Kita harus keluar dari sini secepatnya."

"Tapi dengan adanya aku, pertempuran akan selesai lebih cepat, Pak."

Tuan Kendrick mendengus kesal. "Bukan pertempuran yang selesai lebih cepat. Kau yang akan selesai lebih cepat. Mulai sekarang, belajarlah untuk tidak gegabah, Arvin. Rencana kami hampir gagal gara-gara kamu susah diatur. Atau, sekarang kamu mau kami bius lagi?"

Arvin akhirnya diam dan menurut. Kata-kata bius membuatnya bisu. Setelah itu, tubuh mereka digiring menuju pesawat elit Soteria yang Galant tahu hanya dipakai dalam keadaan khusus saja. Pesawat putih metalik itu melandas di tanah berumput. Mereka berlari di zona yang cukup aman, demi menghindari hujaman senjata. Sampai tiba-tiba beberapa butir peluru lepas, secara bersamaan menyangkut dan bersarang di bagian dada dan perut Tuan Kendrick.

Guru Fisika itu tetap saja berlari di belakang, walaupun langkahnya semakin terasa berat. Hingga Arvin dan kawan-kawan hampir berhasil mencapai kabin pesawat, pria itu akhirnya berhenti terengah-engah sebelum menapaki tangga. Orang-orang baru menyadari baju biru Tuan Kendrick yang telah berlumuran darah. Para polisi yang masih tinggal di bawah membantunya berdiri, sementara Arvin dari atas tangga hendak turun menjemput. Namun Tuan Kendrick justru menolak semua hal tersebut. Ia masih bisa berdikari. Berdirilah ia dengan kaki sendiri. "Kalian semua cepat berangkatlah!" Pria itu terengah-engah, tampak kesulitan menahan rasa nyeri yang mulai datang menyakiti.

"No-no-no! Bapak harus ikut!" Arvin mengelak. "Masih banyak pertanyaan yang harus Bapak jawab."

"Pertanyaanmu akan dijawab oleh orang lain, Arvin." Tuan Kendrick tersenyum lemah. Baru kali ini, Arvin melihat wajah pria itu memancarkan binar. Benar-benar baru kali ini.

Terlalu lama berhenti di tempat, membuat tubuh dua polisi menjadi sasaran empuk peluru manusia terbang. Polisi itu masih berusaha menembak, dengan sisa tenaga terakhir untuk melindungi Tuan Kendrick. Namun tetap saja, pria itu tak bisa luput dari hantaman kelereng tembak. Darah semakin banyak mengucur keluar mewarnai pakaiannya.

Sementara tubuh Arvin segera ditarik dari atas, bebarengan dengan pesawat yang dipaksa terbang. Arvin kelabakan. Ia ingin meraih kalungnya untuk melindungi Tuan Kendrick yang semakin tertinggal di antara guyuran peluru. Namun sayang, tangannya tak dibiarkan bergerak bebas.

Matanya mulai berkaca-kaca, sementara Tuan Kendrick menguarkan suara dari bawah. "Selamat jalan! Sampaikan salamku pada seorang wanita, bahwa selama ini aku...," Pria itu terbatuk dan darah pun keluar dari mulut, "aku mencintainya."

Tubuh Arvin terantuk masuk menuju lantai kabin pesawat. Dan bersamaan dengan hal itu, pintu logam segera tertutup kaku. Memutuskan pandangan mereka dengan dunia luar. Pesawat mau tak mau langsung lepas landas dengan pengaturan turbulensi yang buruk. Mata anak-anak itu masih tampak kosong. Di dalam ruangan dingin tersebut, seseorang menepuk pundak Arvin pelan. "Kalian semua, carilah tempat yang nyaman. Perjalanan kita masih panjang. Kalian butuh banyak istirahat sekarang." Mendengar suara Ken yang lembut, barulah anak-anak mulai beranjak. Mereka bahkan tak menunjukkan rasa kagum sedikit pun pada desain interior tempat ini, yang sebenarnya lebih tampak seperti hotel daripada sebuah pesawat militer. Batin mereka terlalu letih. Kejadian demi kejadian menimpa bagai martil yang terus merongrong keyakinan untuk sanggup membayangkan masa depan. Setelah ini, kehidupan yang sama sekali tak bisa diterka akan terus bergulir. Lagi dan lagi.

<<<>>>

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang