59 | Taman Bermain (5)

9.3K 1.5K 112
                                    

<<<>>>

Pagi berikutnya, Evan tiba-tiba berteriak dan bertingkah kesetanan sambil membongkar barang-barang di dalam tenda. "Damn! Bintang kita hilang sepuluh!"

Arvin, dan Galant sampai terbangun dari tidur lelap yang terasa begitu sulit sekaligus berharga itu. Sementara Radhit segera melongokkan kepala dari luar tenda. "Ada apa?"

Evan memberengut, hatinya makin dongkol. "Seseorang mencuri bintang dari ransel kita."

"Kau yakin tidak salah hitung atau tak sengaja menjatuhkannya?"

Tanpa menjawab Radhit, Evan bangkit dan melewati pemuda sawo matang itu dengan wajah masam. Lavina yang sedang membakar ikan untuk sarapan pun mengamti Evan dengan heran. Ia segera menyerahkan pekerjaannya pada Carrie dan menyusul langkah Evan karena sudah pasti tak ada yang berani selain dirinya. "Hey, kau ini kenapa, dari kemarin marah terus?"

"Aku kecewa, sepertinya ada pengkhianat di kelompok kita," tutur Evan tanpa melihat lawan bicaranya. Lavina membuntuti pemuda itu dengan penuh telisik. Sebenarnya siapa yang dimaksud oleh Evan?

"Kau jangan suka berburuk sangka seperti itu!" Lavina mencoba menasihatinya. Namun tampaknya Evan telanjur mengaktifkan mode tidak mau menerima saran dari siapa pun. Dan memilih tetap berjalan lurus.

Seusai bersih diri di kamar mandi yang disediakan di pos utama, anak-anak Saturnus berkumpul untuk sarapan dengan wajah tegang dan serius. Semua sudah tahu perihal raibnya sepuluh bintang dari ransel Evan. Dan anak berkacamata bingkai sempit itu tak akan tinggal diam menyikapi hal ini.

"Tidak adakah di antara kalian yang merasa jantan untuk mengakui sebuah kesalahan? Aku masih memberi waktu untuk minta maaf. Kupikir beberapa orang sudah jaga tenda semalam, tapi kenapa masih ada bintang yang hilang, ya?"

Radhit sampai harus meletakkan piringnya mendengar pertanyaan Evan yang terasa sangat menusuk. Perkataan itu tentu tidak hanya akan menyakiti Radhit, tapi anak yang lain seperti Carl, Carrie, dan Sora. "Bagaimana kalau kita ikhlaskan saja bintang itu dan tidak usah membahas ini lagi? Kita masih punya banyak, kan?" Dilihat dari mimik wajahnya, rasa marah dan tersinggung mulai berbisik pada hati Radhit.

Evan meletakkan piringnya, jauh lebih kasar dibandingkan Radhit. "Kalau kau terus lunak seperti itu, bisa-bisa kita keluar tanpa mengantongi bintang satu pun. Kau ini ketua. Tegaslah sedikit!"

Lavina menarik lengan Evan bermaksud agar anak itu berhenti bersikap memalukan di depan adik-adiknya, namun Evan tetap kukuh sebab telah menyiapkan amunisi yang lain, "Aku jadi curiga padamu, Radhit. Kemarin kau membolehkan Peter meminta bintang dari kita tanpa pertimbangan yang matang, bukan? Sama sekali tak menutup kemungkinan, bahwa sekarang kau melakukan hal yang sama. Dari gerak-gerikmu, bisa kusimpulkan bahwa kau takut kepada musuhmu. Bagimu, melindungi diri jauh lebih penting daripada ambisi untuk mencapai tujuan. Kalau begini terus, kau hanya akan menjadi pengecut, Radhit!

"Cukup!" Radhit tak melanjutkan kalimatnya. Rahang itu terlalu kaku untuk sekadar berkata-kata. Dan jiwanya terlalu rapuh untuk terus bergejolak. Anak yang lain pun hanya bisa tercengang menyaksikan percakapan sengit dari dua kakak kelas mereka.

Sementara Evan mendengus sinis. Baginya tetap, perilaku lembek sang ketua justru akan menjerumuskan kesepuluh anak itu ke dalam lubang hitam. Ia tampak lamban dalam mengambil risiko, sementara nasib buruk sedang gencar meneriaki mereka dari bawah. Menurut Evan, satu-satunya cara untuk lepas dari kegagalan adalah serius dalam permainan ini. No excuse, sekali basah, basah sekalian.

<<<>>>

Sore itu, Rei memerhatikan perilaku Radhit yang sedari tadi cenderung tidak fokus untuk mengerjakan apa-apa. Anak berkacamata kotak tebal itu bertandang untuk membantu Radhit mengepak barang-barang yang sudah tidak dipakai di sekitar bekas api unggun.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang