45 | Dalam Kegelapan (3)

10.9K 1.5K 91
                                    

<<<>>>

Ditemani Dvhl, Arvin berjalan menuju luar gedung utama. Belakangan, ia tahu kalau lantai yang dipijaknya adalah secuil bagian dari dead area of the Earth. Tanpa diduga, Arvin telah dibawa ke medan paling tidak bisa ditembus oleh manusia.

Namun kali ini dibuktikan dengan penglihatan, pendapatnya selama ini tentang DATE harus gugur. Ia tidak melihat pepohonan angker sebagai tempat bersemayamnya para hantu di sekitar sini. Atau pun pesawat alien dan portal ke dimensi lain. Apalagi alat-alat penyiksa seperti Guillotine[*] yang membayangkannya saja membuat leher geli. Semua mitos menyeramkan tentang tempat ini runtuh seketika, saat Arvin melihat lahan hitam legam dan di atasnya dibentangkan kehidupan manusia yang normal. Walaupun suasana suram dan perasaan terisolasi dari pulau lain menjadikan daerah ini tidak bisa dianggap sepenuhnya normal.

[*] Guillotine: alat pemenggal kepala yang terdiri dari bangku panjang dan bilah pisau yang siap diturunkan dari ketinggian tertentu, dimana leher korban sudah dipasang di bawah pisau tersebut. Awal mula dipakai pada masa Revolusi Perancis. Dan alat ini menjadi simbol alat siksa terkenal sepanjang masa.

Dalam ketinggian ini, Arvin dapat melihat struktur jaringan sekitar istana pusat yang dipenuhi dengan pemukiman penduduk dan jalur lintas kendaraan. Walaupun tidak seindah dan sebagus negeri Soteria, namun dengan melihatnya membuat Arvin merindukan rumah. "Bisakah aku pulang sekarang?"

Dvhl terkekeh. "Kau baru melihat awalnya dan sudah memutuskan untuk pulang?"

Arvin menatap Dvhl ragu. Entah mengapa pria ini-sama seperti tempat ini-masih penuh dengan misteri. Terlepas dari pakaiannya yang serba hitam di mana Arvin merasa seleranya sangat antimainstream, atau mungkin ia ingin menyesuaikan diri dengan mendung-mendung gelap yang menaungi tempat ini.

"Kupastikan kau akan memilih untuk tetap tinggal di sini jika kau mendengar ceritaku." Sambil berjalan, Dvhl menjelaskan. Dan berbekal rasa penasaran, Arvin sedikit lupa dengan keinginannya untuk pulang.

"Tanah ini dijuluki tanah yang mati karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya hidup di dalamnya. Nama tempat ini adalah Thesaurus, diambil dari bahasa Yunani yang artinya treasure-harta karun. Setelah lama tinggal di sini, aku benar-benar mengerti apa makna dari harta karun itu. Mereka adalah para pengikut setia, orang-orang yang memiliki visi yang sama denganku."

"Visi?" Dahi Arvin mengernyit. "Apa sebenarnya yang sedang kalian rencanakan?"

Dvhl tak menjawab. Arvin hanya ikut di bawah kendali langkahnya untuk menuju ke tempat lain. Alih-alih bisa bertanya sekali lagi, pemandangan yang Arvin temukan membuatnya bergeming kaku.

Lentingan bola air berputar nyaris mengenai mata kirinya, membuat dadanya seketika berdesir. "Sorry!" teriak seseorang dari bawah sebelum ia melanjutkan aktivitas.

Masih mencoba percaya dengan apa yang dilihatnya barusan, Arvin mengerjap-ngerjap heran saat di bawah sana-tepatnya di bagian bangunan yang lebih rendah menyerupai lapangan Rugby-terdapat beberapa orang yang mengenakan pakaian seragam hitam sedang unjuk kebolehan. Andai saja mereka bertarung dengan tangan atau setidaknya menggunakan senjata yang lazim, maka Arvin tidak akan sekonyol ini melihatnya.

"M-m-mereka ...?!" Anak ikal itu kehabisan kata-kata begitu melihat orang-orang sedang menggunakan bebagai macam kekuatan kinesis. Seumur hidup belum pernah ia melihat keajaiban kekuatan itu dari jarak sedekat ini. Ada yang memunculkan potongan kerucut es dari genangan air, membuat bayangan hidup dari tangannya, dan ada pula yang melontarkan benda-benda berat sebesar gajah ke lawan mereka. Arvin tak tahu nama khusus untuk transducer selain pyrokinesis yang digunakan Rei untuk menyebut kekuatannya.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang