Luke

68 15 2
                                    

Pusing.

Satu satunya yang gue dapati ketika gue bangun tidur. Rasanya satu ruangan muter nggak karuan, bikin keseimbangan gue hilang gitu aja. Efek tidur pagi terus kayaknya, nih...

"Lewi?" Panggil mama dari luar, mengetuk pintu kamar gue. "Kamu nggak apa apa? Dari pulang kuliah langsung di kamar, kamu sakit?"

Iya, Lewi. Panggilan sayang dari orangtua, semenjak gue kecil.

"Eng- Enggak kok, ma. Kenapa? Masuk aja." ucap gue parau, menekan kedua mata dengan telapak tangan. Karena nggak bohong, dari tadi rasanya semua muter, bikin gue jatuh setiap kali berdiri.

"Kamu nggak apa apa?" Tanya mama, mengelus punggung gue, namun gue gelengi.

"Nggak kok, lagi capek aja." Lirih gue. "Kenapa, ma?"

"Oh, ini." Tukasnya, "Tadi tante Joy telfon mama, kamu masih ingat sama Kaka, nggak?"

"Kaka?" Tanya gue, bingung. Kayak pernah dengar, tapi jujur aja nggak inget.

"Iya, Kaka." angguk mama. "Sepupu kamu yang paling kecil, yang terakhir kamu ketemu dia gitar kamu senarnya diputusin."

Oh, dia...

Apa kabar ya dia sekarang?

"Adeknya Calum, bukan?" Tanya gue, yang diangguki mama.

"Yang dulu waktu dia kecil, kamu pernah bacain cinderella." tambah mama lagi, yang membuat gue mendadak ingat orang yang dimaksudnya.

"Oh, iya iya. Inget, kok." Angguk gue pelan. "Kenapa dia?"

"Jadi gini, kata mamanya nilai dia jeblok terus. Berhubung kamu pinter matematika, tante Joy mau kamu ngajarin dia. Dia yang kesini kok, jadi kamu dirumah aja." sahut mama, yang langsung gue gelengi tanpa mikir dua kali. Karena pertama: si Kaka itu buat ukuran perempuan bangornya kelewatan, gue males kalo harus adu mulut. Dan kedua, gue udah capek kuliah, nggak mungkin punya tenaga buat ngajarin anak orang lagi. Apalagi anaknya gini. Nggak, pokoknya nggak.

"Loh, kenapa?" Tanya mama, kaget dengan gue yang tumben tumbennya melontarkan penolakan.

"Luke udah capek kuliah, gaada tenaga lagi kalo harus ngajarin orang lain." Tolak gue. "Lagian setau Luke rumah dia sama rumah kita jaraknya jauh, pasti dia capek bolak balik. Mending cari orang lain aja."

"Kaka itu orangnya susah, Luke. Dia keras, cuma mau dibilangin sama orang yang dia kenal baik. Kamu sama dia kan sepupu, masa kamu nggak bisa jinakin dia?" Tanya mama. "Lagian dia baru kelas 4, dia juga adek sepupu kamu, loh. Sebagai kakak, itu kan termasuk tanggung jawab kamu."

"Mama ngomong gitu sama Calum, jangan sama Luke. Luke kan bukan kakak kandungnya." sergah gue, yang mentang mentang anak bungsu kalo udah disandingin sama anak bungsu lain yang lebih muda dari gue, pasti figur gue langsung berubah jadi 'kakak'.

"Ya kalau Calum sama aja sama Kaka gimana?"

Bungkam, gue nggak bisa menyahuti jawabannya.

"Ya, gimana mama aja deh. Asal Kaka bisa nurut sama apa yang Luke bilang, yaudah nggak apa apa" Pasrah gue, yang akhirnya mengiyakan tawarannya untuk mengajar adek sepupu gue, karena emang nggak ada ruginya dan ikut seneng juga kalo dia bisa pintar karena gue. Tapi sekali dia membangkang gue, jelas penolakan kedua kali nggak akan segan gue lontarkan.

"Gitu, dong." senyum mama. "Makasih ya, sayang."

Gue mengangguk acuh, membiarkan mama pergi setelah sebelumnya mengelus kepala gue. Dan pandangan gue kembali jatuh pada tumpukan buku di depan, rentetan tugas dari dosen yang layaknya keran rusak, mengalir tanpa henti.

"Gila..."

Tanpa menunggu lama, gue menelan dua buah tablet obat sakit kepala yang belakangan rutin gue konsumsi. Meski gue tau bahwa dosis normal hanya satu dan nggak menutup kemungkinan gue bisa overdosis kalo minum dua, tapi sakit kepala gue yang sekarang rasanya nggak akan mempan kalo cuma dikasih satu tablet. Yang penting pusing gue hilang, terus gue bisa nugas lagi. Ini pasti karena gue jarang tidur belakangan, gara gara tugas.

Pikiran gue melayang pada apa yang barusan mama diskusikan dengan gue soal jadi guru les buat adeknya Calum. Nyesel juga bilang iya, tapi mau gimana? Masa mau gue tolak lagi? Panjang urusan, lah. Lagian, siapa tau aja adeknya Calum udah berubah, nggak sebangor dulu waktu masih kecil. Semoga aja gitu. Pokoknya biarin aja, kalo dia macem macem nggak bakal gue terusin.

Sialan.

Gue memijat hidung bagian atas, berusaha menghalau sakit kepala yang berdenyut makin parah, membuat gue rasanya mau tidur aja sampai besok, atau tidur aja terus, nggak usah ngampus sekalian tapi bangun bangun wisuda, lulus.

Udahlah, mulai ngaco gue.

Duduk tegak, gue kembali memantapkan diri mengerjakan segambreng tugas serta presentasi yang gue dapat hari ini, berniat menyelesaikannya malam ini juga, yang bisa dipastikan sampai pagi gue nggak akan tidur dan langsung ngampus setelah selesai.

Semangat, Luke. Dua tahun lagi lulus.

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now