Calum

18 8 0
                                    

"Kak, aw! Sakit!"

Keada-adaan pagi ini; kaka minta dikepangin.

Ngapain, coba?

"Ya lo jangan gerak, udah diem!" Omel gue, yang gak ngerti gimana caranya ngepang samasekali. "Lagian dikuncir kuda aja, kenapa sih?! Lu jelek anjir dikepang!"

"Aku ngga jelek, ih!" Ambeknya. "Kak, sakit!"

"Diem!" Bentak gue. "Kan, kepangannya lepas lagi! Lu diem napa! Elah!"

Jujur aja, daritadi gak terbentuk satu ikatan pun di rambutnya. Malah kusut, karena gue tarik sana sini. Kalo gua punya anak, fix cowok aja, deh. Mati berdiri njir, punya anak cewek.

"Aku udah diem, kak!"

"Tuh, kan, ngomong lagi! Udah ah, males gue ngepangnya!" Gue melepaskan rambutnya begitu aja. Nyerah, masa bodo rambutnya mau gimana.

"Kakak!" Ia kali ini menatap gue. "Yaudah, aku gak ngomong lagi. Tapi rambutku tolong benerin."

"Udahlah, gitu aja, bagus." Gue mengayunkan tangan santai; asli bingung rambut sepanjang itu harus diapain. Pengen gue gunting, ntar Mali ngamuk; ngeri. "Ayo ah, gece pake sepatu! Gua manasin motor dulu."

"Ih," dengusnya, kemudian menyisir rambut sendiri.

"Eh, gece!" Tukas gue, yang kali ini sudah diatas vespa putih pemberian bokap. "Sampe lima gak naik, gue tinggal. Satu, dua—"

"Aku gak mau ke sekolah kayak gini." Rengeknya. "Dikirain gak mandi ntar, kak."

"Bilang aja rambut lo abis diapain Mali kek di salon. Udahlah ah, ayo buruan naik!" Sergah gue; ribet mampus nih anak. Gua dulu sekolah rambut ga nyentuh sisir aja jadi.

"Aku gak mau rambutnya begini." Lirihnya, menatap gue entah kenapa. "Kak, ih."

"Yaudah, mau diapain lagi, sih?!" Tanya gue, bingung nih anak maunya apa. "Lagian itu juga biasa aja, lah. Lebay lo, ah!"

Dengan wajah manyun, ia akhirnya naik keatas motor. Bodo amat ngambek deh, yang penting jalan dulu.

Lagian, rambutnya mau diapain lagi, sih?

***

"Dah, kak." Ia melambaikan tangannya, mengembalikan helm gue; wajahnya lesu parah, mirip gue waktu punya utang kantin satu buku penuh.

"Ka?" Panggil gue, sebelum ia makin jauh melangkah.

Ia berbalik.
"Hm?"

"Bawa kunciran gak?" Tanya gue, yang lama lama gak tega liat muka dia manyun. Asli ya, bener bener, kalo diliatin terus, dia persis gue waktu kecil.

"Bawa." Angguknya, kembali menghampiri gue. "Buat kak Mali, kak?"

"Sini," gue bergeser sedikit ke belakang. "Gue rapiin dulu, deh. Kayak sarang burung rambut lu ternyata."

Ia mengangguk lesu, kemudian menuruti perintah gue; akhirnya, mau gak mau, gue urusan lagi sama rambut.

"Nanti kan mau beli kado buat ben, sekalian potong rambut aja ya?" Tanya gue, menguncir kuda rambutnya—yang sama kabel galian aja masih panjangan rambut dia. "Panjang banget ah rambut lo, kayak setan."

"Kata kak Luke jangan." Gelengnya. "Kak, kok miring sih?"

"Nggak." Geleng gue; yang merasa kunciran gue amat sempurna; meskipun poninya gak tau kenapa malah jadi naik naik. "Udah sana, ah."

"Kak," ia menatap gue lagi. "Miring."

"Daripada otak lu yang miring?" Gue memakai helm, bersiap cabut. "Udah ah, sana. Gua udah telat nih."

"Yaudah." Angguknya. "Dah, kak."

"Hmm." Angguk gue acuh, kemudian tancap gas menuju kampus.

Semoga hari ini asdosnya yang cewek, deh.

***

"Gimana?"

Kaka mengernyitkan dahi; pipinya kelihatan makin besar. Nih anak dikasih makan apaan aja ya, selama sama Luke?

Gua akhirnya memaksa Kaka potong rambut; persetan dengan Luke yang bilang gak boleh. Abis gua ribet sendiri njir liat rambutnya. Mau dipanjangin sampe mana lagi?

Dan dipotongnya juga gak pendek pendek amat, sebahu doang.

"Hm..." ia menggumam, memperhatikan rambut barunya lekat lekat. "Gak kayak dora kan, kak?"

"Ngga." Geleng gue. "Kayak boots."

"Ih." Gerutunya, namun masih menatap pantulan dirinya di cermin. "Kayak dora, kak..."

"Yaudah sih, jepit aja poninya. Ribet lu." Sergah gue, berjalan mendahuluinya. "Ayo buruan, mau beli kado gak buat Ben? Keburu malem!"

"Iya," angguknya, yang kini ikut berjalan di belakang gue. "Om suka apa ya, kak?"

Gue mengedikkan bahu.
"Kan elu yang deket, gua mana tau?"

"Om gak pernah bilang dia suka apa, sih..."

Gue ikut bergumam, Ben suka apaan, ya?

Makanan? Lah, gua juga suka.

Rumah? Yaelah, mending buat gua.

"Oh," gue teringat satu hal yang kami berdua sama sama suka. "Gue tau, Ka."

"Apa, kak?"

"Dugem." Angguk gue mantap, membuat air muka Kaka berubah bingung.

"Dugem itu apa, kak?"

"Udah, pokoknya dia suka itu." Sergah gue. "Tapi kalo mau dugem, yang bener, jangan setengah setengah."

Kami berdua terdiam; kaka mungkin masih mikir dugem itu apa--sedangkan gue, masih mikir mau dugem dimana yang enak.

Yang heboh, yang 'sekalian'.

Sekalian gede, maksudnya, bukan sekalian ngewe.

Itu juga bisa, sebenernya.

"Coachella." Gumam gue pelan, yang dibarengi dengan makian suara hati. Tanggal segitu kuliah lo masih jalan, goblok, jangan aneh aneh.

Lah, apa gunanya temen, kalo bukan buat tipsen?

Tapi kalo presentasi? IP lu kemaren udah hampir jadi mi lidi, cal, gak usah aneh aneh!

"Yuk, kita balik." Ujar gue. "Gua tau beli kado Ben dimana."

Suara hati berhasil gue tampik; niat bersenang senang, emang gak bisa diganggu gugat.

"Dimana, kak?"

"Dirumah." Angguk gue, langsung berjalan menuju parkiran.

Iya, niat gue, kita beli tiket untuk Ben patungan; dan gue beli tiket untuk diri gue sendiri.

"Lo punya duit kan, Ka? Buat beli kadonya Ben?" Tanya gue, kali ini memakai helm. "Gece, naik."

"Punya." Angguk Kaka, lantas duduk di jok motor. "Emang kakak mau beliin apa buat om? Beli dugem, ya?"

"Ssh, ah!" Gue menepuk lututnya pelan, isyarat menyuruhnya diam. "Duduk yang bener, kita caw."

Ia menurut saja; semoga sampe rumah dia gak nanya macem macem.

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin