Luke

78 12 12
                                    

"Biarin aja, nanti juga sembuh sendiri."

Sembuh sendiri? Gila nih orang.

"Sembuh sendiri jakun lo." gondok gue. "Orang sampai nangis nangis bangunin gue gitu, kok!"

"Ya emang kalau sakit dia pasti gitu." tukas Calum, yang entah kenapa santai banget nanggepinnya. Dikira Kaka ayam kate kali, kalo sakit bisa langsung dibuang.

"Lo nggak pernah ngurusin dia apa gimana?"

"Dia udah gede, nggak usah begitu khawatir lah, Luke."

Udah gede, katanya?

"Whatevs." sergah gue, yang langsung memutuskan sambungan, sebelum gue makin gondok. Udah pada gila kayaknya...

Kenapa banyak banget, ya Tuhan...

Gue menatap nanar tugas yang menggunung, seperti nggak ada habisnya. Gue kerjain satu, ntar yang lain nongol lagi. Mending nongolnya satu, ini pasti nongolnya berendeng, rame rame. Gitu aja terus siklusnya sampai upin ipin sarjana.

Ayo, Luke. Dua tahun lagi, Tahan...

Setelah memastikan Kaka nggak bakal kebangun lagi, gue kembali menaruh fokus pada salah satu tugas bagian organ dalam, menorehkan pulpen pada kertas laknat tersebut.

Ya, sekarang jam udah menunjukkan pukul setelah dua pagi, dan yang gue lakukan nggak lain nggak bukan hanya nugas. Lain sama calum, yang jam segini belum tidur pasti masih teriak teriak 'cyka blyat' atau 'idi nahui' pada teman teman satu servernya. Iri sih gue, kadang pengen juga begitu. Tapi, kalau gue santai melulu, kapan gue suksesnya?

Agh!

"Sialan..."

Rasa sakit yang menusuk di kepala gue kembali muncul. Kali ini tanpa mimisan seperti kemarin, bedanya sekarang sukses membuat gue menjambak rambut sendiri saking sakitnya.

"S-Stop..." ringis gue, yang makin nggak tahan dengan sakitnya. "S-Sakit..."

Belum puas membuat gue kesakitan, sekarang rasa sakit keparat itu menuju ke perut gue, membuatnya mual bukan main, bahkan memaksa gue untuk berlari ke kamar mandi, memuntahkan semuanya seperti waktu itu.

"Fuck..."

Nafas gue memburu, tetapi perut gue nggak memberikan jeda samasekali. Terus memforsir gue untuk mengeluarkan semuanya. Sakit? Jangan ditanya.

"Kakak..."

Itu...

Suara Kaka, kan?

Gue berusaha mengatur nafas, juga berusaha mengabaikan rasa sakit di kepala serta mual yang makin menjadi. Entah kenapa, makin lama sakit kepala yang sering menyerang gue terlihat makin mencurigakan. Mungkin, kapan kapan gue harus memberikan perhatian lebih.

"Kakak dimana?"

Positif, itu Kaka.

Dan suaranya bergetar, entah apa yang terjadi padanya sekarang.

Salah gue juga sih, ninggalin dia sendirian.

Nggak nunggu lama, gue langsung menggosok gigi, menghilangkan rasa menjijikan di mulut gue bekas muntah tadi. Tentu kaka nggak boleh tau apa yang baru saja terjadi. Gue cuma... Nggak mau ia tau, itu saja.

"Iya, Ka?" Sahut gue, setelah selesai menggosok gigi, perlahan namun pasti kembali berjalan gontai menuju kamar. Sakit kepala keparat ini membuat jalan gue nggak seimbang, bikin gue harus pegangan pada apa saja ketika jalan, kalau nggak, gue bisa aja langsung jatuh.

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin