Luke

33 9 0
                                    

Anjrit, nggak selesai selesai...

Gue menatap nanar pada tumpukan tugas di hadapan, yang makin lama, kayaknya makin menggunung. Mau selesai kapan, coba?

Agh...

Tangan gue bertumpu pada ujung meja, saat sakit kepala sialan ini kembali menyerang gue. Dan jujur aja, sakit kepala gue makin hari kayaknya makin parah. Kalau dulu cuma kayak pusing biasa, sekarang rasanya kayak kepala gue ditusuk benda tajam, terus selalu ngarah ke perut, bikin gue mual habis habisan.

Nggak, nggak. Gue pasti cuma kecapekan aja, kok. Pasti.

Berusaha mengalihkan pikiran dari prasangka gue yang makin aneh, akhirnya pandangan gue jatuh pada box sepatu converse hitam, yang tadinya ingin gue berikan pada Kaka, cuma karena seharian kita sibuk main dan perang kentut, akhirnya sepatu ini lupa gue berikan padanya. Mungkin, pagi ini aja, sekalian biar dia pakai ke sekolah.

Tentu, gue bukan tanpa alasan memberikan ini padanya. Tempo hari, guru kelasnya menelfon gue, berkata bahwa gambar yang dibuat Kaka menjadi sorotan para guru. Setelah gue diperlihatkan gambarnya oleh guru kelasnya, tentu perhatian gue juga ikut terbawa.

Iya, dia menggambar gue dengan seragam putih dokter, dan dirinya sendiri di samping gue. Ditambah dengan tulisan 'my brother is a great doctor, when i grew up, i want to be a doctor' disampingnya, membuat gue diam diam tersenyum juga. Guru kelasnya bilang, ini pertama kalinya Kaka menggambar anggota keluarga di lomba seni sekolah. Sebelumnya, ia hanya menggambar binatang atau objek mati lainnya. Ditambah, guru kelasnya berkata pada gue, bahwa anggota keluarga yang paling disayanginya hanya kakaknya. Namun, 'kakak' yang dimaksudnya bukan Calum, bahkan Mali, melainkan gue.

Gimana gue nggak ikut senang dengarnya?

Jujur, persepsi gue pada Kaka awalnya selalu negatif, mau dari sisi manapun itu gue ngeliat Kaka, pasti pikiran gue udah negatif duluan. Ya, gue berasumsi gitu juga bukan tanpa alasan. Pertama; Dia adiknya Calum. Calum bajingan, itu gue paham. Dan nggak menutup kemungkinan kalo adeknya bakalan jadi bajingan juga, kan? Kedua; Gue pernah ketemu Kaka waktu dia masih kecil banget, dan badungnya nggak ketulungan. Tapi ternyata, setelah beberapa hari gue tinggal bareng dia, semua persepsi negatif gue padanya hilang gitu aja. Karena gue tau, dia bukan orang kayak Calum, dan dia orang baik baik. Apalagi, waktu dia bilang kalau dia sayang gue. Jujur, gue bukan orang yang perasa sama segala sesuatu, cuma hal hal tertentu yang bisa buat gue mikir panjang. Tapi, pernyataan 'sayang' dari Kaka ke gue, selalu buat gue kepikiran. Dan gue senang, karena gue tau masih ada orang yang sayang sama gue.

"Kak?"

Gue menoleh, mendapati makhluk kecil yang gue pikirkan sejak tadi terduduk di tempat tidur, matanya sembab.

"Kenapa, Ka? Kok bangun? Masih jam lima, loh." Tanya gue, yang dalam hati panik, takut dia sakit lagi. "Nggak enak badan, ya?"

Kaka menggeleng.
"Kakak sini..."

Gue menghampirinya, membuatnya dengan cepat memeluk gue erat.

"Nggak mau sekolah, kak..." Gelengnya, menangis di dada gue. "Mau libur aja..."

"Lah, kenapa?" Tanya gue heran, sembari memeluknya balik serta mengusap punggungnya, berusaha menenangkannya. "Kok tiba tiba nggak mau sekolah?"

"T-Tadi aku nggak hafal dialog..." Isaknya, "Terus... Terus kakak nggak datang... Nggak mau sekolah pokoknya, kak..."

"Sshh, iya iya..." Angguk gue. Pasti, dia mimpi kayak gitu lantaran grogi hari ini mau tampil. "Tenang dulu ya, Ka. Itu mimpi kok tadi..."

Kaka mengangguk, meski masih terisak. Kalau diibaratin hewan, mungkin Kaka itu ikan sapu sapu, soalnya demen banget nempel.

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin