Luke

19 6 3
                                    

"Yes, namaku naik! Ashton kalah!"

Gue mengerjapkan mata sesaat, sebelum akhirnya mendapati Kaka yang masih bermain game di sebelah gue. Lampu kamar sudah mati total, hanya cahaya dari layar handphonenya yang membantu gue melihat sekitar.

"Kok nggak tidur, Ka?" Lirih gue, membuatnya lantas menoleh. "Sekarang jam berapa?"

Ia tersenyum, menggeleng singkat.
"Jam tiga."

"Tidur dong, ayo. Sini handphonenya." Lirih gue lagi, yang meskipun gak mampu bangkit dari tempat tidur, namun masih bisa menggerakkan tangan. "Besok sekolah, gak bisa bangun."

"Nggak ngantuk, kak." Gelengnya, yang tidak menyerahkan handphonenya samasekali. "Bentar lagi."

"Kaka, jangan rewel, ayo. Gue lagi nggak mood nih." Gue menghela nafas dalam dalam, ketika rasa sakit di kepala gue datang lagi.

Mulai minggu lalu, rasanya gue gak sanggup buka mata tiap pagi; karena pasti disambut rasa sakit yang seperti ini.

Sekarang, sakitnya bahkan tiap waktu.

"Maaf, kak..." cicitnya, lantas memberikan handphonenya pada gue. "Ini..."

"Gue nggak marah, kok." Senyum gue paksa. "Lo cuma harus tidur, ini udah pagi..."

"Mm hmm." Angguknya, sembari gue meletakkan handphonenya di meja kecil sebelah tempat tidur. "Kakak udah gak sakit?"

"Udah." Angguk gue balik, menggigit bibir bawah ketika sakitnya makin menjadi; kalo nggak pasti gue kelepasan mencicit sakit. "Udah ngga sakit, kok..."

"Ka?" Panggil gue, mau gak mau harus mengatakan apa yang ingin gue katakan. Siapa yang bisa jamin, besok gue masih ada?

"Hm?"

"Kalo gue pergi..." Lirih gue, mengusap lembut rambutnya. "Jangan jadi anak nakal, ya? Sayang sama mama, sama ayah, sama mali, sama Cal. Sama Om, sama adek baru nanti. Ya? Jadi kakak yang baik buat adeknya ya, Ka? Gue tau kok, lo bisa."

"Jangan suka berantem, ya Ka?"

"Jangan dengerin orang ngomong yang ngga ngga tentang lo; lakuin apa yang menurut lo bener."

"Dan," senyum gue tipis. "Lo harus inget kalo gue selalu sayang sama lo. Selalu."

"Meskipun nanti gue pergi, lo jangan takut gue lupa; karena gue ngga bakal. Gue bakal bilang sama semua orang disana, kalo gue punya adek yang kerennya bukan main."

"Kakak mau kemana?" Ia menatap gue; mata bulatnya memerah menahan tangis. "Kakak mau pergi kemana?"

"Aku janji gak nakal lagi..." lirihnya balik. "Tapi kakak gak boleh pergi..."

"Gue harus, Ka." Geleng gue. "Gue harus."

"Kakak?" Panggilnya; suaranya bergetar hebat.

"Kakak kenapa harus pergi jauh?"

"Kalo kakak pergi jauh, aku mau ikut, mau sama kakak... Kakak disini aja, jangan pergi..."

Gue tersenyum paksa. Tanpa kata, namun memeluknya erat, dengan harapan ia bisa tumbuh dewasa tanpa gue, tanpa 'kakak' yang mendampinginya lagi.

"Kan ada calum, kalian juga udah baikan sekarang." Geleng gue, tidak samasekali melepaskan pelukan. "Ya? Yang baik sama mali juga. Jangan bandel, kalo dibilangin jack sama ben. Oke?"

Ia menggeleng; tangisnya sekarang makin besar.
"Kakak gak boleh pergi!"

"Kakak disini aja!" Ia menggeleng keras keras. "Kakak jangan pergi!"

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now