Kaka

37 11 8
                                    

"Kak?"

Aku memanggil kak Cal hati hati; mundur dua langkah sebagai kegiatan jaga jaga, kalau nanti tiba tiba kak Cal marah kupanggil.

"Hm?" Sahutnya; yang kini membaca komik deadpool lama miliknya.

"Boleh tolong bantuin aku gak?" Aku menatapnya, menunjukkan pergelangan tanganku yang berdarah dicakar sorry. "Aku gak bisa buka plester..."

"Lo abis ngapain?" Tanya kak Cal heran; kali ini membuka plester yang kupegang tadi; bahkan memakaikannya padaku. Kok tumben...

"Dicakar Sorry." Lirihku. "Tadi aku kelitikin perutnya, eh, dia marah."

"Goblok lu." Cibirnya. "Nih, buang sampahnya."

"Oke." Anggukku; melakukan apa yang kak Cal perintahkan. Kok tumben hari ini dia gak marah marah?

"Gua mau keluar ya, mau jalan." Ia beranjak dari sofa. "Jaga rumah lo."

"Oke." Anggukku lagi, yang kali ini duduk di sofa tempat kak Cal tadi duduk. Plester om Jack lucu juga, ada gambar jerapahnya...

"Lo mau ikut?"

Aku menoleh; kakak ngomong sama orang di telfon, apa sama aku?

"Ka, woy, diajak ngomong tuh jawab."

Oh, aku.

"K-Kenapa, kak? Aku kira kakak lagi ngomong di telfon." Jawabku keki; duh, semoga dia gak marah deh...

"Lo mau ikut jalan, gak?" Tanyanya. "Gua itung sampe tiga, kalo gak jawab—"

"Mau!" Seruku, yang meskipun nggak tau kak Cal mau jalan kemana. "Mau, kak!"

"Yaudah, ayo." Sergahnya, kemudian melenggang pergi terlebih dahulu. "Masukin Sorry ke kandang, pake jaket, kita naik motor."

Loh? Bukannya dia dihukum ayah gak boleh naik motor sampe lulus?

"Ka, gece!"

Ah, udahlah, nanti aja mikirinnya; daripada kelamaan.

***

Kak Cal nyetir motor, berasa nyawanya ada dua puluh.

Daritadi, dia ngebut gak pakai ngerem. Tadi juga hampir aja nabrak mobil air AC. Dia dikejer apaan, sih? Serem banget nyetirnya. Karena ini kali ya, makanya dia gak dibolehin ayah naik motor lagi?

"Nah," ia turun lebih dulu dari motor; kami sampai di depan toko yang cukup sepi dengan lampu neon warna warni sebagai nama tokonya; bangunannya terbuat dari batu bata merah, nampaknya sudah cukup tua. "Ini cal's, reading room yang pewe banget. Tapi, isinya cuma komik, gak ada buku pelajaran. Turun, Ka, kita masuk."

Ini tokonya punya kak Cal? Kok namanya Cal's?

Aku mengekorinya dari belakang; kak Cal nampak sangat berbeda dari dirinya yang biasa ditunjukkan di rumah; ramah banget. Dan delapan tahun hidup di rumah, aku gak pernah lihat kak Cal senyum selebar ini.

"Ini adek gua, nih." Ia menepuk kepalaku. "Ka, temen gua, kenalin."

"Hai." Senyumku keki. "Kaka."

Teman kak Cal yang menjadi barista tersenyum lebar.
"Andy."

Kayak nama papanya kak Luke...

"Benih nih, Cal, gedenya. Kayak Mali." Cengir teman kak Cal, membuat kak Cal lantas menempeleng kepalanya.

"Gua tampol lu." Sergah kak Cal, setelahnya berjalan lagi. "Gua kesana, ya."

"Ini tempat gua dulu suka baca," ia menepuk rak warna warni di hadapannya. "Dari marvel paling baru, sampe marvel yang kertasnya udah burem, semua ada."

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now