Luke

75 12 2
                                    

Perut gue sukses makin nggak enak setelah gue sarapan.

Bukan, bukan karena roti yang Kaka buat, gue nggak nyalahin dia, ya. Tapi, mungkin efek gue muntah muntah sebelumnya. Ya, sakit kepala gue makin parah sekarang. Bahkan, itu bisa buat gue jatuh kalau jalan nggak pegangan atau bikin gue muntah muntah kayak tadi. Jujur, kalau dibilang curiga sama sakit kepala gue sendiri, tentu udah curiga dari kapan tau, karena yang gue lihat dari gejalanya, sakit kepala parah ini mendekati indikasi suatu penyakit dalam; kanker otak.

Nggak, nggak mungkin...

Gue sehat sehat aja. Itu pasti karena gue kecapekan...

"Kakak!" Seru seseorang di luar kamar mandi, yang gue tau betul siapa si empunya suara. "Aku boleh masuk?"

"Masuk aja" jawab gue acuh, yang akhirnya berniat untuk mandi lagi bersamanya. Maksudnya mandi bareng, gue mandiin dia dulu, baru habis dia beres, gue mandi sendiri. Nggak mungkin gue ngeberesin bersihin private parts gue depan dia, kan?

"Kakak udah lepas baju?" Tanya manusia kecil di hadapan gue, sambil mengemut sikat giginya yang nggak sampai sejengkal tangan gue. "Odol kakak rasanya nggak enak, pedes."

"Ya jangan dimakan, lah." Geleng gue sambil mencuci muka, berniat mencukur bulu bulu di wajah yang udah mulai tumbuh. Gue nggak mau disangka ayahnya Kaka waktu besok dateng, ya. "Ka, sikat gigi, jangan diemut ah odolnya, jorok."

"Aku nggak ngemut" gelengnya, tersenyum kecil ke arah gue. Wajah polosnya sukses membuat gue ikut tersenyum balik padanya. Nggak nahan liatnya. "Kak, gigiku kenapa, sih?"

"Kenapa emang giginya?"

"Goyang gitu, sakit..." ia manyun, masih sambil mengemut sikat giginya. "Waktu aku pertama begini, gigiku ditarik sama kak cal sampai berdarah..."

"Oh," gue menggumam, mengurungkan niat untuk nanti saja cukurnya. "Mana? Sini gue liat."

Kaka membuka mulutnya, terlihat deretan gigi yang super kecil serta satu gigi yang bolong di beberapa bagiannya.

"Yang mana, Ka?" Tanya gue, melepaskan sikat gigi yang diemutnya di pipi kanan. Iya, sikat giginya udah dikasih odol, cuma nggak dipakai untuk menyikat giginya, jadi masih ada di sikatnya. Anak gila, emang.

"Yang ini," ia menggoyangkan gigi taringnya. "Sakit, kak..."

"Oh, itu." Angguk gue. "Yaudah, nggak apa apa, nanti lepas sendiri, kok. Jangan kenceng kenceng sikat giginya, ya."

Manusia kecil di samping gue mengangguk, sembari berlari kecil mengambil bangku pendek yang nggak jauh darinya. Tentu itu untuknya berpijak, agar bayangannya terpantul di kaca, membuat gue tertawa diam diam melihat tingkahnya.

Lucu juga, sih...

Udah ka, nggak usah gede, kecil aja terus.

"Kakak mau ngapain?" Tanyanya, sukses membuyarkan lamunan gue tentangnya, membuat gue menoleh kearahnya, yang sekarang jaraknya dengan cermin di depan nggak sampai sejengkal.

"Lo sikat gigi apa ngaca?" Cibir gue, mulai mengoleskan krim wajah, bersiap mencukur.

"Sikat gigi sambil ngaca" jawab Kaka, nampak sangat hati hati menggosok giginya, yang malah bikin gue gregetan sendiri.

"Gue bantuin, sini." Sergah gue, yang tanpa persetujuannya langsung merampas sikat gigi kecil tersebut dari tangannya, membuatnya manyun dengan segera, menorehkan protes pada gue lewat air mukanya.

"Nggak mau!" Tolaknya. "Aku aja!"

"Lo sikat gigi aja setaun, lama banget!" Decak gue. "Gue pelan pelan, kok. Sini, majuan."

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin