Jack

26 7 2
                                    

"Haha, iya. Coba aja lu jepret."

"—mm hmm, kayak gitu. Lu taro di telunjuk, satu lagi di jempol."

"—iya, gitu. Terus lepas; jebret, gitu."

"Hahaha, ya kan? Gua bilang juga apa. Lu sekali kali kalo pulang gua ajarin gimana caranya nyambit pake sarung, deh. Pernah perang sarung gak lu?"

Gue mengetuk ngetukkan kaki, rasanya bingung mau gimana; kaka malah video call dengan cal, padahal malam ini katanya mau dengan luke. Dan luke? Untungnya, ia masih tidur—tapi sebelum tidur tadi, dia bilang bahwa tolong bangunin dia, kalo kaka nelfon.

Kenapa lo jadi kayak gini, sih, cal?

"Cal," panggil gue, yang sialnya tertangkap kamera depan, membuat kaka langsung menyapa gua tiba tiba.

"Ngapain lu?" Sergah cal— kali ini belum bangkit dari posisinya.

"Can we talk?" Tanya gue. "Berdua aja?"

"Mau ngomong apa lagi?" Dongkolnya, yang kali ini mematikan mikrofon, agar kaka gak dengar semua yang kami bicarakan—untungnya, si curut juga lagi asik main dengan temannya, gak begitu peduli kami ngapain.

"Just a talk." Lirih gue. "Please?"

"Kenapa? Lo mau kaka ngomong sama luke?" Cetusnya, membuat gue mengernyitkan dahi dengan segera. Kok dia tau?

"Cal, kenapa sih?" Cegat gue, sebelum ia keluar ruang rawat lewi. "—i get it, lu marah, oke. Tapi kenapa?"

"I've never seen you this selfish before. Man, what happened?" Gue kali ini berdiri di hadapannya; rasanya muak kalo cuma nurutin keadaan. "Gua tau, ini bukan karena kaka sebenernya. Kenapa?"

"You can always talk to me, if something happened." Ujar gue, masih belum menyerah. "Cal!"

"She is mine, jack!" Ketusnya. "You've been with her for too long!"

"Gak semuanya, cal!" Cegat gue, lagi. "Gak semuanya yang lo mau harus lo dapetin! Lo dapet kaka waktu dia lagi lucu lucunya, lagi manis manisnya. Waktu dia lagi rewel rewelnya, lo kemana?"

"Sekarang gua tanya; kalo misalnya dia sakit, kalo misalnya dia berantem, kalo misalnya dia nangis gak karu karuan, lo mau apa—lo bisa apa?!" Lanjut gua. "Kalo dia gak mau bangun dari tempat tidur padahal dia harus sekolah, kalo dia ada acara olahraga di sekolah dan keadaan lo lagi sakit sakitnya sementara cuma lo yang dia minta buat nemenin dia, lo mau apa?!"

"I know what im doing!" Bentaknya, kali ini mendorong gue tepat ke tembok. "I don't need luke for any of that! Itu adek gua, dan gua bisa jaga dia sendirian!"

"Dan lo kemana selama ini?!" Gue gak mau kalah kali ini. "Kemana tanggung jawab lo?! Lewi juga adek lo, kalo lo pikir pikir! Adek yang gak sesusah itu buat diurusin, tapi pas dia sakit aja lo gak peduli!"

"Sudi najis!"

"Lo kemana dari si kaka bayi sampe sekarang?! Siapa yang ngurus, sekarang gua tanya?!"

"—yang bela belain ke hari olahraga, padahal kita semua tau, dia berdiri aja udah mau mati rasanya?!"

"—yang ngajarin dia, meriksa semua prnya, jadi buku diary pribadi buat kaka, padahal lo tau badan dia sekarang bukan punya dia sendiri?! Dia harus bagi dua sama penyakitnya?!"

"Lo ada masalah apa sama adek gua, sih? Lewi pernah salah apa?" Ah ilah, cuy, lu jangan pake nangis berantemnya! Nanti gak laki! "Dia harus minta maaf berapa kali lagi, biar lo gak begini?"

"He always looked up to you, ever since he was young." Lirih gue, gak tau harus bilang apalagi. "Lo orang pertama yang lewi kagumin, sejak dia masih bayi."

"Calum jago olahraga, calum jago berantem, calum jago bertemen, calum jago main cewek," tawa gue miris. "—dia mau jadi calum, katanya."

"Lo tau berapa kali dia ngerasa kurang, tiap ngeliat lo?" Sambung gue lagi. "Dia yang pemalu, gak pedean, dari jaman dulu masih sekolah sampe sekarang dia selalu 'ngejer' lu. Dia mau jadi kayak lu, tapi lu aja dulu sekelas sama dia gak pernah mau sekelompok kalo ada tugas."

"—lu pacarin gebetannya, lo ambil semua kesempatan dia buat 'ngenalin' diri ke orang lain, berkali kali dia gak mau sekolah karena dia pikir dia selalu kurang; sementara dia masih sebaik itu nuker ujian matematikanya sama lu, biar lu gak dapet jeblok dan akhirnya dimarahin."

"—dia mau lu suruh cobain rokok biar lu nganggep dia setara sama lu, padahal yang pertama kali liat kakek gue dulu meninggal karena rokok itu dia."

"Lewi gak pernah ngambil apa apa dari lu, cal." Senyum gue paksa. "—dan kita gak tau sekarang umur dia sampe kapan."

"Kenapa gak bisa ngalah, sedikit aja?" Suara gue rasanya habis sampai disini. "Lo gak takut dia pergi?"

"—apa emang mau lo begitu?" Bagus, nangis terus, jack; pake rok lo abis ini.

"Kaka punya lo, cal." Bisik gue, yang gak tau harus bicara apa lagi. "She'll always be your sister. Lo bisa tanya anaknya, siapa kakaknya."

"Bukan lewi kok, tenang aja." Geleng gue, lantas memunggunginya; entah mau pergi kemana, tapi gue gak mau terus terusan emosi.

Bodoamat dia mau sadar, mau ngga; sesal itu tanggungan pribadi, kok. Datengnya juga belakangan; kalo dia mau berubah, sekarang masih bisa.

Kalo ngga, ya mungkin itu maunya.

Tau, ah.

***

"Lew?"

Lewi pelan pelan menoleh; his eyes are a bloodshot. Kenapa sembab? Apa yang lagi dia pikirin?

"Jangan berantem lagi," bisiknya; amat pelan, sampai sampai gue harus membaca gerak bibirnya, karena jujur gak kedengeran. "—jangan teriak lagi..."

"Im sorry..." lirih gue, yang gak tau kalo, mungkin, dia denger. "Gue juga sebenernya gak mau berantem, lew. Lu kan tau gua orangnya peace, love, and gaul..."

"Salah gue banyak ke dia," lirih lewi lagi, kali ini pandangannya jatuh ke bawah. "—jadi lu jangan berantem lagi sama Cal, ini emang salah gue."

"Salah lo apa, lew?" Gue mulai naik pitam lagi. "Coba sebutin, gua mau denger."

"Gue pernah berantem sama dia, waktu itu lo liat..." ia meremas selimutnya kali ini. "Gue pernah marah sama kaka, gue juga pernah maki maki calum."

"—wajar dia marah." Lewi menghela nafas; isakannya gak terdengar, tapi airmatanya gak berhenti sejak tadi. "Gak apa apa, jack. Udah, lu jangan berantem lagi."

Mata gue ikut panas; kakak mana yang bisa lihat adeknya begini?

"Kesalahan lo itu kesalahan yang semua orang perbuat, lew." Sergah gue. "Seandainya gue hakim, itu kesalahan yang gak bakal gue acungin jari tengah; itu biasa."

Ia menggeleng, tersenyum paksa.
"Gue gak mau lo jadi berantem sama cal gara gara ini,"

"—jangan berantem lagi." Bisiknya, menepuk pundak gue halus.

"Gue mau tidur." Tukasnya, yang lantas berbaring; meninggalkan gue yang gak tau harus sedih atau marah.

Sampai sini, gue gak ngerti;

Jadi sebenarnya, siapa salah siapa?

Kenapa semuanya harus jadi begini?

Lama lama mumet, otak gua berceceran, anjing...

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now