Jack

26 6 2
                                    

"Terus tadi aku juga berantem sama veronica cs! Ih, aku sebel banget!"

"Lu lawan, lah. Susah amir. Biasanya juga jadi preman. Ngga guna lu."

"Ya tapi kakak ngga tau, kak, itu dia ngedorong aku mulu, mentang mentang badanku paling kecil di atletik! Mana kerjaannya ngatain aku pendek mulu, lagi!"

"Ya lu lawan lah, bilang aja 'tinggi doang mah, galah buat nyolong jambu juga tinggi!'. Gitu. Yaelah, Ka, gitu doang apa susahnya, sih?"

"Susah, kak, dia mainnya geng-gengan."

"Nah, elu jangan mau kalah, bikin geng juga."

"Bener juga..."

"Kalo lu dibully, lu harus bisa buktiin ke mereka, kalo mereka salah." Sahutnya, mengganti posisi menjadi setengah tiduran. "Nah, sama yang ini nih, satu lagi; kalo lu ngga tau, mendingan lu mati aja."

"Apa, kak?"

"Ya lu jangan kemakan omongan mereka, lah. Biarin aja mereka ngatain lo pendek; emang lo pendek. Cuma jadiin pendeknya itu spesial, bikin mereka ngerasa 'njir, coba gua pendek.' Gitu."

"Kacau lo, bego banget, gitu aja ngga tau." Sambungnya, mengganti posisi duduk lagi. "Idup lu ngapain aja selama ini, Ka?"

Calum sedang asyik menelfon Kaka; nangkring di pinggir jendela, spot favoritnya ketika ia berkunjung ke kamar rawat lewi. Oh ya, udah seharian Lewi tidur hari ini, karena obat yang dokter berikan cukup keras—dan membuatnya super ngantuk, tentu. Tapi yaudahlah, ngga apa apa, daripada dia kejang atau sakit.

Gue menatap Calum hampa; kaka lagi ngapain, ya? Dia masih marah sama gua ngga, ya?

Yang merasa diliatin, kali ini menatap balik; sinis, tentunya. Typical Calum.

"Kak luke gimana, kak?"

"Ya ngga gimana gimana." Ia mengedikkan bahu; menatap singkat Lewi yang sedang tidur bersandar pada papa. "Lu pulang kapan?"

"Ngga tau..." sahut kaka. "Kayaknya, sih— bentar lagi! Belom sejam! Lu awas! Lu— Ah! Awas gak?!"

"Woy, apaan sih! Lu sana dulu! Ah elah—kak, udah dulu ya, mulai gila orang orangnya— ck, lu gangguin gua mulu, awas lu ya, nanti lu nelfon gua cabut kabelnya! Liatin aja!"

Calum tertawa ringan, mendengar percakapan Kaka diujung sana.
"Ayo, ribut! Gebug, Ka! Jangan mau kalah!"

"Dah, kak!"

"Yok." Angguk Cal; bersandar pada dinding jendela, tepat setelah ia memutuskan sambungan.

"Ngomongnya 'gua' 'lu' disana?" Tanya gue, yang jujur, gak mau berantem lama lama. "Dia gimana?"

"Menurut lo, gimana?" Tanya Cal, mengangkat satu alisnya; air mukanya songong seperti biasa, tapi bukan itu masalahnya kali ini.

"Cal," gue menahan bahunya. "I'm sorry. Gua minta maaf."

"—banget." Bisik gue, menarik Calum ke sofa. "Gue tau, gue salah. Gue kesel pas itu, udah, itu aja."

"Jujur, gue nggak ada niat buat nyuruh kaka kerja, samasekali ngga!" Tukas gue; membuat Cal lantas mendorong bahu gue kasar.

"Cut the shit, jackass." Desisnya. "Lu ngomong sama anaknya, jangan sama gua!"

"Gua mau ngomong sama Kaka, tapi elonya aja ngga ngizinin, Cal!"

"Karena ngga ada yang bisa lo ubah, goblok!" Bisiknya ketus, setelah itu pergi keluar kamar; meninggalkan gue sendiri di sofa.

Yang namanya Calum emang batu.

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now