Jack

22 8 0
                                    

"Lu mau sekolah apa mau main, Ka? Pendek bener celananya..."

Gue mengernyit bingung, melihat celana Kaka yang panjangnya cuma hampir dua jengkal diatas lutut.

Ia mengedikkan bahu.
"Celana dari kelas satu."

"Wow." Gue mengangkat kedua alis singkat. "Ayo, berangkat. Nanti jajan aja ya, buat makan siangnya. Jangan bilang Luke lu ngga gue bawain bekal, ya?"

Kaka mengangguk setuju; lantas membisikkan 'dah, kakak, pada Lewi yang masih tidur, sebelum akhirnya keluar dari ruang kamar rawat; dengan gue berjalan di belakangnya.

Semenjak Lewi sakit, gue yang selalu mengantar Kaka pergi sekolah. Oh ya, hampir lupa, hari ini adalah kemo pertama Lewi; setelah sekian banyak rangkaian tes yang dilakukan. Dan semua tesnya aman untuk kemo, mulai dari tes darah, ct scan, bahkan tes gigi.

"Deket kantor gue ada mall, nanti pulang sekolah ikut gue kesana ya?" Tanya gue, sambil kami menunggu lampu merah. "Celana lo seksi banget, buset."

"Kemaren, aku pake celana ini, diliatin Ashton." Ia manyun. Yaiyalah, bocil. Kalo sekarang gue seumuran Ashton juga gue liatin, kali. Bukan apa apa, pasti gue mikir nih anak korban banjir, pendek bener celananya. "Katanya aku ke sekolah pake celana dalem."

Gue sontak tertawa.
"I'm with your friend."

Ia makin manyun.
"Males ah, sama om."

"Hari ini Luke harus 'minum obat', jadi nanti sampe rumah sakit lo baik baik ya, jangan berisik. Kasian dia." Ujar gue, memutar kemudi ke kanan, tancap gas makin kencang. "Nanti upacara, nggak?"

"Obatnya segede apa, om?" Tanyanya, yang tak kunjung turun, padahal udah sampai. "Upacara. Tuh, udah pada baris."

"Yaudah, sana, baris." Gue mengusirnya pergi. "Ntar dijemur lu."

"Om." Matanya seakan berkata lu-anterin-gua-dulu-nyet, membuat gue mau gak mau akhirnya turun dulu dari mobil. Pasti dia minta anterin karena telat, jadi kalo gurunya ngomel, dia gak takut, soalnya gue jadi backingan.

Kok lu tahan sih, Lew, jadi bodyguard anak tikus?

"Dah." Gue mengantarnya sampai ke barisan. Gak sekalian aja gua baris, hm? "Baik baik lo."

"Dah, om." Ia melambaikan tangannya, tersenyum pada gue.

Sampai sini, gue sadar, kenapa selama ini Lewi mau mengurus Kaka sampai segitunya;

Karena meskipun ia anak bungsu, ia tidak pernah begitu disayang kedua orangtuanya. Begitu juga orang yang harusnya menjadi pengganti orangtuanya; Mali, dia sibuk kerja. Calum? Wah, gak tau deh gue. Selama ini, dia juga berjuang sendiri; sebenarnya, sampai sekarang di keluarganya, tetap Calum yang paling dimanja.

Karena meskipun ia anak bungsu, ia yang paling sendiri.

Gue menghela nafas; tiba tiba takut punya anak. Gimana, ya? Bikinnya enak, emang. Cuma kedepannya, kacau abis kalo gue nggak bisa ngurus. Gue nggak mau, nasib anak gue jadi kayak Kaka nantinya. It terrifies me, everytime Celeste wants us to have a kid after we get married.

Gimana kalo anak gue nanti gedenya ngobat?

Gimana kalo anak gue nanti gedenya jualan narkoba? Wayoloh, ngeri mampus gue, kan.

Lain dengan Ben yang amat ingin punya anak; dia berencana punya anak lebih dari tiga, dan semuanya harus dia yang ngurus. Ambisi yang mulia sekali.

Anak satu aja ngurusnya kebat kebit, gimana lebih dari satu?

Gue menggeleng pelan, menepis semua ketakutan dalam pikiran gue; semoga ntar jalannya baik, lah. Bikin ngeri aja dipikirin sekarang.

***

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now