Jack

26 8 3
                                    

"Lo yakin?"

Ia mengangguk mantap, mengiyakan dengan singkat pertanyaan gua barusan; arena marathon untuk hari olahraga Kaka sudah dipenuhi orang orang yang akan berlari nanti. Kaka? Masih di jok belakang, lanjut tidur, sejak ia selesai mandi pagi dan sarapan tadi.

"Lew—"

"Jack," sanggahnya. "Gue gak apa apa."

Gue menghela nafas, mengangguk pasrah. Kalo gak batu, bukan Lewi namanya.
"Gimana lu aja, deh. Just... Call me if anything happens. Gue serius."

"Pasti." Angguknya, tersenyum singkat; berusaha meyakinkan gue bahwa dia baik baik aja. "Ka, come on, baby. Udah sampe. Masa mau tidur terus?"

"Kakak aja yang lari." Rengek Kaka; mulai lagi rewelnya. "Aku tunggu sini aja."

"Yaudah, berarti gue aja yang makan iga sapi, ya?" Sahutnya, yang ikut duduk di jok belakang. "Tuh, udah ditungguin. Ayo, yuk, nanti keburu mulai."

"Hng." Rengeknya, meski kali ini akhirnya ia bangun. "Kenapa pagi banget larinya, kak?"

"Biar gak panas." Lewi kali ini menggandengnya menuju arena start. "Minumnya udah, Ka?"

Seiring dengan berjalannya mereka, gue terduduk pasrah di jok mobil; kenapa gue ijinin dia marathon? Kenapa kemaren gue gak lobi dia, biar Kaka hari ini sama gue aja?

Dia gak tau, kondisi badannya gimana?

Kalo tau, kenapa maksa?

Gue menatapnya, yang kini sudah jauh; ia disana, mengobrol dengan orangtua teman Kaka. Bisa gue lihat, bahwa ia amat bahagia sekarang. Dan meskipun gue gak setuju ia ikut marathon, tentu gue gak akan mampu melarang; karena, kapan lagi dia bisa sebahagia itu?

Gue mengangkat kamera; memotret wajah bahagianya dari jauh. Karena, siapa tahu dia gak bisa bahagia lagi nantinya, bisa gue tunjukkan foto ini.

Gue menatap lekat lekat gambar wajahnya di kamera; membuat mata gue lambat laun memanas.
"Ini semudah apa sih, buat lo?"

Gue berbisik entah pada siapa.

"Kalo penyakit lo bisa dipindah ke gue..." anjrit, kok tiba tiba ada airmata?! "Gue mau..."

Gue menutup semua jendela mobil; mengunci pintunya.

Setelahnya, berteriak sekeras mungkin; meluapkan segala emosi gue di ruang kosong, berharap nggak ada yang mendengarnya.

Sejak gue dengar berita bahwa Lewi sakit, sampai sekarang, cuma gue yang belum nangis. Pertama kali gue tahu, entah kenapa, rasanya emosi gue mati; gak sedih, nangis apalagi.

Jadi, mungkin ini akhirnya; emosi gue ternyata belum mati.

"Pindahin penyakit lo ke gue!" Seru gue, masih entah pada siapa. "Kita bagi dua nyawa gue; atau semuanya buat lo, terserah!"

Isakan cupu memenuhi atmosfer hampa mobil. Sekarang, rasanya gue ingin hilang ingatan; atau putus hubungan darah sekalian.

Gak ada yang bisa lihat dia begini,

Siapapun itu.

Gue berteriak sekali lagi; menyandarkan dahi di setir, menyembunyikan wajah dibalik lengan.
"Kenapa harus lo, Lew?"

Kusut,

Rasanya carut marut; gue gak tau harus gimana. Ketika nyokap dan Ben udah tahu harus apa, gue masih kosong. Pikiran akan perginya Lewi menakuti gue mulai kemarin; rasanya ingin teriak lagi.

Stop crying, dumbass.

Gue menggeleng; lantas memotret diri gue sendiri dengan kamera handphone. Dih, siapa nih?

Kakak • lrhDär berättelser lever. Upptäck nu