Kaka

34 10 2
                                    

"Ka, bangun. Udah jam tujuh lewat, ayo buruan. Nanti telat masuk sekolahnya."

Aku menggeliat, dengan cepat lantas menggulung diriku sendiri di dalam selimut kakak. Sekolah? Apaan, tuh? Nggak pernah dengar. Jaman sekolah?

"Kaka," Kak Luke mencium dahiku lembut, setelah sesudahnya kembali mengelus rambutku, masih memerintahkanku untuk bangun. Sepertinya, ia nggak lupa kalau hari ini aku sekolah. Rese emang sekolah, nih. "Bangun, Ka. Udah jam segini, loh. Tas lo udah gue ambilin dari rumah, jadi tinggal berangkat aja. Yuk, bangun Ka."

"Kaka, ayo bangun." Sahutnya lembut sambil kembali mengelus kepalaku, yang malah membuatku makin ogah bangun. Tentu, aku lebih suka cara kak Luke membangunkanku. Kalau kak Calum? Pasti aku sudah disiram air kulkas sekarang, karena nggak bangun bangun.

Lagian apaan sih, sekolaaah aja yang dipikirin! Ugh, emangnya, nanti aku kalau udah gede terus mau kerja, semua pelajaran yang kupelajari di sekolah bakalan dipakai? Kalau aku nanti kerjanya nulis artikel majalah kayak kak Mali, masa aku harus pakai pecahan? Gunanya apa, coba? Pecahan yang begitu tuh, nggak berguna! Kecuali bisa mecahin kaca jendela bos kita nanti, nah baru berguna! Ini sih, cuma mecahin otak kita aja! Nggak ada gunanya!

"Nggak bangun sampai tiga, nggak gue kasih sarapan, ya." Ancamnya, yang jujur, nggak ada ngaruhnya buat aku. Ya, gimana mau ngaruh? Sarapan aja enggak pernah!

"Yaudah." Sergahku, "Nggak sarapan, nanti juga makan siang di sekolah."

"Nggak boleh gitu lo, ah. Harus sarapan. Udah ayo bangun, Ka."

Hari ini ada pelajaran apa, ya? Malas ah, kalau ada matematika.

Oh, hari ini kan nggak belajar, cuma latihan drama aja. Mantap, free time seharian.

"Kaka, ayo dong cepetan." Kak Luke kini menarik pipiku, membuatku meringis kesakitan. "Jangan malas malas ah, nanti nggak naik kelas."

Bodo amat.

"Biarin, aku suka kelas 4."

"Malu lagi, kalau teman lo semuanya pada naik kelas tapi lo enggak. Masa nggak malu sekelas sama adek kelas?" Tanya kak Luke. Yah, dia nggak tau aja, mau adek kelas, mau kakak kelas, mereka semua kan temanku. Jadi ya, santai aja lagi.

"Nggak, lah." Gelengku. "Dari kelas 1 sampai kelas 6, semuanya temanku. Ngapain malu?"

Kak Luke menghela nafas, kali ini menggendongku paksa, berjalan membawaku ke kamar mandi. Meskipun aku meronta, ia tetap nggak melepaskanku. Ih, dia tuh kenapa, sih?!

"Bisa mandi sendiri kan, Ka?" Tanyanya, "Nanti, kalau udah selesai mandi, langsung ke ruang makan ya."

Ruang makan? Ngapain?

"Ngapain kak?" Tanyaku, heran. "Kalau mau beres beres mah, nanti sore aja."

"Siapa yang mau beres beres?" Tawanya, entah kenapa, sambil kali ini menurunkanku dari gendongannya. "Sarapan lah, Ka. Mana ada orang pagi pagi beberes?"

"Sarapan?" Tanyaku, yang makin heran. "Nggak usah, kak. Ngapain? Nanti juga aku dapat makan di sekolah."

"Jangan gitu." Gelengnya, sambil berlutut menyamakan tingginya denganku didepanku, kali ini membantuku melepas baju, "Sarapan itu penting, lo bisa nggak konsentrasi belajar, kalau sarapan lo tinggal."

"Ng..." Aku menggumam, mengilas balik hari hariku tanpa sarapan, yang kayaknya biasa aja, nggak ngaruh sama apapun itu. "Enggak ngaruh sih, kak. Kata kak Cal, nggak usah sarapan juga nggak masalah, asal nanti kita makan siang."

"Calum ngomong gitu?" Tanyanya, yang kuangguki.

"Terus, tiap pagi dia nggak sarapan, dong?"

"Ya, enggak."

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now