Luke

26 9 4
                                    

Dimana...

Gue membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan gue ke seluruh ruangan.

Putih, hanya warna itu yang bisa gue lihat.

"Sir?" Panggil seorang perempuan di samping gue, entah siapa. "Tolong jangan gerak dulu, ya."

Gue mengangguk lemah, rasanya kepala gue kayak ditimpa batu kali, sakit nggak ketahan.

Tadi... Gue di dramanya Kaka, kan?

Terus, dia gimana? Dia dimana?

"Dokter-"

"Tenang dulu, sir." Tukas lelaki berjas putih di depan gue, memotong pertanyaan gue yang jauh dari kata selesai.

"Adek saya..." Gue menghela nafas, membiarkan orang disekitar memeriksa gue. "Dimana?"

"Adek kamu ada, diluar." Jawab dokter berjas putih di hadapan gue, yang kini sibuk memeriksa bagian mata.

"Sakit kepalanya dari kapan, kalau saya boleh tau?" Tanyanya, bahkan sebelum gue mengucap syukur karena Kaka nggak hilang.

"Udah lama, lumayan." Lirih gue, "Dari dua bulan lalu ada, kali. Tapi, kayaknya cuma kecapekan aja."

"Penglihatan, gimana? Baik baik aja, atau sebaliknya?"

"Kadang ngeblur, kadang kabur, kadang jadi ganda." Ragu gue, yang entah kenapa, kali ini punya perasaan nggak enak.

Nggak, Luke. Tenang, lo nggak kenapa napa, kok.

"Frekuensi sakit kepala sering?"

"Hampir tiap hari." Jawab gue singkat, "Makin hari, makin sakit kayaknya."

"Ada keluhan mual atau muntah karena sakit kepala?"

Gue mengangguk, karena ini yang selalu gue alami.

Ia menghela nafas,
"Kalau saya jadi kamu, saya nggak bakal berani menyimpulkan kalau saya cuma kecapekan."

Gue terdiam. Kata kata yang dilontarkan dokter tadi, sukses membuat gue membeku sesaat.

"M-Maksudnya?" Tanya gue, berusaha meminta penjelasan. "Saya... Ada penyakit?"

"Saya sarankan, besok kita ketemu, ya." Ujarnya, sembari membuka pintu. "Perlu ada tindakan lebih lanjut. Nanti kita buat janji. Saya permisi dulu."

Gue kenapa?

Menghela nafas, gue akhirnya menerawang langit ruangan yang sama putihnya. Namun, pandangan gue runtuh, setelah gue menoleh dan menemukan mawar biru serta sepucuk surat di meja nakas, tepat di samping gue.

Oh, ya...

"Lewi!" Tukas seorang perempuan, yang kali ini masuk ke dalam kamar, menghampiri gue dengan segera. "Kamu kenapa, sayang?"

Gue menggeleng pelan,
"Nggak tau, ma. Kecapekan, kayaknya..."

"Mama panik banget waktu Calum telfon mama, bilang kamu pingsan." Sahut mama, menghela nafas. "Istirahat dulu ya, kamu nggak boleh banyak gerak."

Calum?

"Iya." Angguk gue, mengiyakan nasihatnya begitu aja. "Kok Calum yang nelfon, ma?"

"Tadi, Kaka ngasih nomor Calum ke susternya, jadi mereka nelfon Calum dulu, baru Cal nelfon mama." Jelas mama, membuat gue teringat akan Kaka.

Dimana dia?

"Oh..." Gumam gue, "Kaka mana, ma?"

"Diluar, lagi tidur sama Calum. Sebelum kamu bangun, dia nangis terus." Senyum mama, mungkin baru tau kalau Kaka bisa nangis juga. "Mama kira, Kaka nggak bisa nangis. Hebat kamu, Lewi, bisa bikin Kaka nangis sesegukan gitu."

Kakak • lrhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin