HURTS ke-lima

1.3K 78 9
                                    

5. Devario Bramasta


"Aku berharap, datangnya seseorang yang baru tidak merubah apapun diantara kita, walaupun aku pernah ingin merubah perasaan ini."

****

Seperti yang Vanya dengar tadi, kelas Fotografi dimulai hari ini jam tiga sore. Maka, Dengan malas, Vanya melangkah seraya menoleh ke kanan dan kiri saat melewati koridor yang baru dihafalnya untuk jalan menuju kantin. Vanya jadi berdecak kesal sendiri menyadari betapa bodohnya ia tidak menanyakan dimana ruang Fotografi pada Septi atau pada Arkan tadi, sehingga ia tidak perlu bersusah payah mencari ruang Fotografi sendirian, seperti anak tersesat.

Sekitar seperempat jam Vanya berkeliling, mengecek tulisan yang terpampang di atas pintu, berharap ruang itu adalah ruang yang ia cari. Tapi, tidak kunjung nampak. Vanya jadi merinding sendiri. Pasalnya, saat ia tiba di sekolah, ia tidak melihat seorang anak pun yang masuk ke dalam sekolah atau terlihat di areal sekolah. Koridor sepi. Hanya derap langkah sepatunya yang bisa ia dengar.

Vanya tidak berangkat tepat waktu jam tiga sore bertepatan dengan jadwal kelas berlangsung. Ia datang setengah tiga, maka waktunya masih tersisa sepuluh menit sebelum kelas dimulai. Belum seluruh areal sekolah ia hafal, ia tersesat diantara persimpangan koridor. Tidak ada tanda-tanda murid atau penjaga sekolah bahkan suara lain selain derap langkah dan hembusan napasnya. Ia makin mendesah lemas.

Ia pun memantapkan langkahnya berbelok ke koridor kanan mengikuti apa yang ia hafal saja. Ternyata, ingatannya hanya pada koridor kantin. Sampailah ia dikantin yang sepi. Vanya akhirnya duduk disalah satu meja kantin dan mengecek ponselnya berniat menanyakan ruang Fotografi pada Septi---karena tadi ia sudah bertukar nomor ponsel.

"Kenapa wajahnya kayak familiar banget buat gue? Tapi ... siapa?"

Vanya berhenti mengetik keyboard dan tubuhnya berhenti mendadak. Ia menoleh dan memutar pandangannya pada sekeliling dengan was-was. Dorongan kursi dekat kios Pak Di pun semakin membuat Vanya terlonjak kaget. Vanya memasukan ponselnya pada saku celana lalu bangkit dan mendekati kursi tersebut. Langkahnya perlahan, matanya memincing sangat penasaran. Vanya berhenti ketika jarak kakinya dengan kursi tiga ubin.

"Lo ngapain di sini?"

Vanya tersentak kaget ketika Rizky mendongak dan bertanya kepadanya, duduk di bawah dengan punggung yang menyender ke tembok pembatas. Napas Vanya jadi tidak beraturan, jantungnya masih saja berdegub kencang. Ia melangkahkan kakinya ke belakang satu langkah. Tangannya terlipat di balik tubuhnya.

Rizky yang menyadari kehadiran Vanya pun bangkit sambil membersihkan seragam celananya. "Lo ikut Fotografi?" tanyanya dengan pandangan mengarah pada kamera yang melingkar di leher Vanya.

Vanya mengangguk kikuk. "Lo--lo ikut juga?"

Rizky mengangguk mantap. "Lo Vanya, kan? Sini gue anter ke ruang Fotografi,"

Vanya mengangguk cangung, sementara Rizky menggangguk samar lalu berjalan mendahului langkah Vanya. Diperjalanan, Rizky berharap agar Vanya tidak mendengar apa yang ia gumamkan barusan. Semoga saja.

Tidak lama, langkah Rizky terhenti, membuat Vanya kaget karena ia memandang sepatunya saat ia melangkah bersama Rizky. "Lo kok bisa milih Fotografi?" tanya Rizky. "Fotografi minim peminat, loh,"

Vanya mendongak dan tersenyum kikuk."Septi nyaranin gue buat ikut Fotografi. Ya, gue ikut-ikut aja,"

"Septi yang ma--"

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang