HURTS ke-dua puluh enam

1K 63 5
                                    

26. Perkenalan Delapan Tahun yang Lalu

"Jika takdirnya adalah perasaanmu tak sesuai dengan eskpetasiku, mengapa perlakuanmu padaku membuatku menentang takdir?"

****


"Dia beneran perjalanan dua belas jam?" tanya Rizky di bangku setir dengan fokusnya pada halaman bandara untuk mencari tempat parkir.

Sore ini, Rizky mengantar Vanya menjemput sepupunya dari Jerman. sebenarnya Rizky sudah menolak. Ia masih merasa tidak nyaman dengan keadaan setelah insiden kemarin. Namun Vanya tetap memaksanya, karena orang tuanya ada keperluan sendiri. Sementara ia masih bingung mau naik taksi atau bagaimana. Maka, di sinilah mereka, di parkiran bandara yang padat pengunjung walau bukan hari libur.

Di samping Rizky, Vanya mengangguk dengan ponsel yang terus berada di tangannya, berjaga-jaga jika sepupunya itu sudah sampai dahulu. "Ky, Jakarta papua aja bisa sampai delapan jam kalo transit sama delay," jelasnya. "Lagian waktunya sana sama Indonesia juga beda, kan?"

Rizky menganggukkan kepalanya dengan paham, padahal belum sepenuhnya ia mengerti. Sudah cukup rumit semua masalahnya untuk ia pahami.

Setelah cukup lama mereka mencari tempat parkir, akhirnya mereka menemukannya. Tak jauh dari terminal kepulangan dari luar negri, namun cukup padat untuk melewati sekerumunan orang yang baru pulang atau pun baru akan pergi dari kota ini. Mereka keluar mobil, lalu berjalan beriringan.

Betapa kagetnya Vanya tiba-tiba tangannya di gandeng oleh Rizky. Keduanya saling tersenyum kikuk, dan Vanya mengeratkan kaitan tangan mereka. Rizky sempat ragu untuk mulai menggandeng Vanya. Namun entah mengapa, tangannya ingin menyentuh tangan Vanya. Rasanya aneh. Canggung. Ketika Rizky menyadari bahwa mereka telah berpacaran, malah terasa semakin aneh. Rasanya ia tidak mungkin menyukai seseorang yang mirip dengan orang yang dulu ia suka, Eri. Karena terlalu banyak luka pada dirinya dan Eri.

Mereka kini berdiri di samping deretan troli. Tangan Vanya memegang pegangan troli, dan kakinya ditekuk sebelah. Tangannya masih memegang ponsel dan sesekali mengecek apakah ada pesan masuk atau tidak. Sementara Rizky, ia berdiri di sebelah Vanya dengan sebelah tangannya yang berada di saku, sementara matanya sibuk mengamati sekitar. Keduanya nampak sibuk masing-masing.

Sepuluh menit kemudian, mereka masih berdiri di sana, menanti Icha. Satu rombongan sudah keluar sekitar lima menit yang lalu. Rizky dan Vanya langsung antusias menyambutnya. Namun ternyata bukan. Pendatang yang baru saja keluar tersebut dari China, bukan dari Jerman. spontan, Vanya dan Rizky menekuk wajahnya dan kembali menunggu di samping deretan troli.

Menurut Rizky, menunggu itu melelahkan. Berdiri di tempat yang ramai, mendengar suara bising, membuatnya tidak betah berlama-lama di sana. Akhirnya Rizky memutuskan untuk pergi ke toilet sebentar. Awalnya Vanya menahan Rizky untuk tidak ke toilet dan meninggalkannya sendirian di tempat ramai tersebut. Namun Rizky juga kebelet. Jadi Vanya mau tak mau harus mengijinkan Rizky ke toilet.

Seperti orang hilang, Vanya celingak-celinguk mencari Vanya pada setiap rombongan yang keluar dari pintu keluar, namun tidak ada. Ia mengecek ponselnya. Sudah hampir jam lima Icha belum juga sampai. Padahal kata Icha, penerbangannya akan sampai di Indonesia pukul empat sore. Atau mungkin Icha terkena delay? Mungkin.

Saat Vanya mendesah resah untuk kesekian kalinya, bahunya di tepuk oleh seseorang. Ia pikir tepukan itu milik Rizky. Tapi ketika ia membalikkan tubuhnya, ia melihat Icha berdiri dengan senyumnya yang sangat lebar. Sontak, Vanya langsung memekik dan memeluk sepupunya itu.

LaraWhere stories live. Discover now