HURTS ke-dua puluh tujuh

989 67 6
                                    

27. Dimensi Setelah Kepergian Rizky

"Satu hal yang masih aku pertanyakan. Jika kamu hanya menganggapku sebagai sahabat, apakah perlakuanmu wajar untuk dikatakan sebatas Sahabat?"

****

Chelsea mengusap keringatnya yang mengucur di pelipisnya dengan handuk kecil yang ia keluarkan dari tasnya. Ia duduk dengan kaki lurus di seberang para junior yang mengikuti teater. Napasnya berhembus pelan. Ia berusaha mengatur napasnya sendiri, sebelum ia bangkit untuk menyemangati adik kelasnya.

Hari ini adalah jadwalnya untuk latihan teater. Sulit baginya untuk mengatur semuanya, terutama ia adalah seorang ketua teater di sini. Namun, Sabrina membantunya dengan penuh, sehingga sedikit ringan pekerjaan ini. Sementara jadwal pentas, sudah dekat. Akhir semester sudah tinggal beberapa bulan lagi. Try Out untuk kelas 12 sudah memasuki tahap terakhir, yang artinya juga Chelsea harus siap menghadapi ujian.

Sementara dengan Rizky?

Ah. Rizky lagi.

Tujuan Chelsea menyibukkan diri di sini lain tak lain adalah salah satu usahanya melupakan sosok Rizky. Nyatanya, berhasil. Bersama teman satu teater, Rizky bisa hilang dari otaknya. Walaupun bersifat sementara, tapi setidaknya otaknya mengurangi asupan sosok Rizky. Argh. Sepertinya Chelsea butuh waktu lama untuk menghilangkan perasaannya sepenuhnya. Toh, sudah ada penggantinya yang lebih pantas dibanding Chelsea. Apapun keadaannya, jika Chelsea bukan pilihannya, Chelsea bisa berbuat apa?

"Chels, udahan, ya? Gue capek...," ucap Sabrina ketika menghampiri Chelsea yang melamun.

Chelsea kaget, tapi kemudian ia sadar bahwa ia sudah melatih mereka lebih dari dua jam. Lelah juga untuk bersandiwara. "Eh, iya, Sab. Gue lupa,"

Tangan Chelsea menyampirkan handuknya ke pundak kanannya, kemudian ia bangkit. Ia berjalan ke tengah ruangan, kemudian menepuk tangannya tiga kali untuk meminta perhatian. "Teman-teman...," ucap Chelsea membuat seisi ruangan memandangnya, "hari ini cukup latiannya. Kalian udah Bagus, dan gue harap, kalian bisaa tampil perfect. Makasih buat kalian yang nyempetin waktu buat latihan. Latihan lagi lusa, pulang sekolah. Kalian boleh pulang, Trimakasih dan ati-ati, ya."

Banyak yang mengangguk dengan senyum, ada yang mengangguk lesu, ada yang tak berekspresi. Semuanya beragam. Sementara Chelsea, ia memilih ekspresi yang kedua. Artinya, ia punya satu hari kosong—selain sekolah-—untuk berusaha melupakan. Sementara ia tak tahu bagaimana melewati hari tanpa sosok Rizky di pikirannya. Dimensi setelah kepergian Rizky masih membekas.

Ruangan kosong ketika dua adik kelas berpamitan kepada Chelsea. Chelsea mengangguk dengan ramah dan mempersilahkan mereka pergi. Dan di sini Chelsea, sendirian di dalam ruang Teater. Chelsea mengamit tasnya yang berada di pinggir, kemudian memasukan handuk yang sendari tadi di pundaknya ke dalam tas. Ia mengembuskan napasnya sekali lagi sebelum ia keluar dari ruangan dan mengunci pintu—yang kebetulan ia memiliki kunci ruang teater untuk berjaga-jaga jika ada latihan dadakan.

Setelah ia mengunci ruangan, ia berjalan dengan gontai menuju gerbang. Ia mengambil ponsel yang berada di saku celananya, dan mengabari kakaknya. Tapi Chelsea tak yakin Rafif bisa menjemputnya. Karena kemarin Rafif sudah berpesan bahwa ia akan sibuk membuat 1000 burung dari kertas origami untuk Tere. Sebenarnya Chelsea juga disuruh membantu Rafif, tapi ia beralasan latihan teater. Chelsea sendiri tak tahu maksud kakaknya untuk membuat seribu burung. Yang Chelsea tahu, kakaknya tak pernah seromantis itu.

Ketika ia mengetikkan pesan untuk Rafif, tiba-tiba ponselnya direbut oleh seseorang. Sontak Chelsea memekik kaget dan memukul orang tersebut. Tapi ketika ia mendengar suara yang familiar baginya mengaduh kesakitan, ia sadar, ia salah orang.

LaraWhere stories live. Discover now