HURTS ke-delapan belas

971 51 2
                                    

18. Rumah

"Jangan bertingkah seolah-olah kamu menjadikanku rumah, Yo. Karena jika bukan kamu rumahku, sama saja aku telah menyakitimu. Aku tidak mau itu terjadi."

****


Bagi Vanya, pergi ke sebuah cafe dengan Septi dan Arkan menjadi hal yang sangat canggung. Sebenarnya Vanya lebih suka menyendiri semenjak ia pindah ke SMA Wijaya. Ia tidak menghabiskan waktu istirahatnya bersama Septi maupun Arkan. Tapi jika ini sebuah ajakan, tidak salah 'kan jika Vanya mengangguk setuju?

Kini mereka sedang duduk di sebuah cafe yang tidak jauh dari mall besar yang berada di jantung kota. Arkan dengan kamera SLR-nya yang tidak pernah lepas dari lehernya sibuk melihat hasil jepretannya. Septi malah sibuk menyeruput kopi dinginnya--yang katanya kopi dingin adalah minuman favoritnya. Sedangkan Vanya, ia bingung harus berbuat apa. Baterai ponselnya habis karena sejak ia pergi, hanya terisi setengah persen saja. Akhirnya, Vanya hanya mengamati pengunjung dan kedua teman di hadapannya ini.

"Eh, ini bagus," kata Arkan sembari menunjukan foto dari kameranya. Septi yang ada di sebelahnya tersebut langsung melirik ke kamera, lalu tersenyum juga. Vanya yang belum melihat fotonya tetap menatap mereka heran.

"Iya, bagus, Nya. Candid lo Bagus," ucap Septi pada Vanya. Vanya yang penasaran langsung melirik kamera. Ada foto dirinya sedang memakan es krim yang tadi ia beli di mall. Rambutnya yang ia kucir satu terombang-ambing karena angin. Vanya juga suka foto itu.

"Nanti kirimin aja, ya, Ar?" ucap Vanya.

Arkan mengangguk. Sedangkan Vanya kembali mengamati sekitarnya. Ia menatap luar jendela yang sudah gelap, yang hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup termakan waktu. Nereka keluar sejak sore. Mereka sudah menghabiskan waktu di mall untuk bermain timezone dan melihat baju-baju. Sebenarnya bukan selera Vanya jika harus jalan-jalan ke mall atau tempat semacamnya. Tapi karena ini ajakan, apa boleh buat?

"Oh iya, Nya," Septi buka suara, membuat Vanya tergugah dari lamunannya dan menatap Septi yang menyeruput sisa kopinya. "Rizky minggu depan tanding, kan?"

Vanya sempat terdiam seketika. Kenapa ujung pembahasan adalah Rizky? "Hm, gak tahu, gue. Mungkin," balas Vanya.

"Kok mungkin?" Septi mengamati wajah Vanya yang sudah merah. "Kan lo deket sama Rizky. Masa gak tahu, sih?"

Vanya diam. Septi dan Arkan mengamati gerak-gerik Vanya yang sudah tidak nyaman dengan topik pembicaraannya ini. "Yaudah, deh. Sory, gue gak maksud bikin lo gak nyaman, gue cuma tanya doang, kok," kata Septi akhirnya ketika Vanya benar-benar risih.

"Lo, sih," Arkan menyenggol bahu Septi pelan. "Tanyanya aneh-aneh. Pe'a."

"Ish," Septi nampak gusar. "Iya makanya, gue minta maaf, deh. Yuk pulang aja? Udah malem,"

"Gue bayar dulu, ya?" Arkan bangkit dari bangkunya, lalu mengambil dompet di saku celananya serta meletakan kameranya di meja. "Gue titip kamera bentar,"

Septi mengangguk sambil tersenyum. Dengan hal sepele tersebut, Vanya sebenarnya bisa menebak ada rasa yang lebih dari sahabat diantara mereka. Tapi mereka sama-sama tidak tahu dan tak ingin tahu. Jika membahas itu, Vanya jadi teringat Rizky, lagi. Vanya menghela napasnya dalam-dalam.

Septi bangkit dari bangkunya sambil mengalungkan kamera milik Arkan ke lehernya. Vanya juga ikut bangkit dan membawa tas selempangnya tersebut. Mereka jalan keluar cafe dengan keadaan canggung. Namun Vanya bisa melihat, Septi sempat meliriknya dengan malu. Vanya juga tidak ingin keadaan canggung ini berlangsung.

LaraOnde histórias criam vida. Descubra agora