HURTS ke-tiga belas

931 50 0
                                    

13. Rio Khawatir pada Chelsea.

"Jika aku menginginkan hadirmu disini, apakah aku melakukan kesalahan lagi?"

****

Siang hari ini, Rizky memutuskan membawa Vanya pada taman dekat rumahnya untuk tugas fotografi. Setelah pulang sekolah, Rizky juga langsung menghampiri Vanya di kelasnya walau saat itu Rizky sangat gugup untuk memanggil Vanya. Tapi keberaniannya disambut baik oleh Vanya karena Vanya pun tersenyum lebar walau sebenarnya detak jantungnya mulai nakal, tidak mau menurut dengan kemauannya.

Sekitar satu jam mereka sudah berada di taman ini. Hanya mendapat beberapa foto yang mereka ambil, itu pun hanya bunga dan langit yang bisa mereka dapat. Kini mereka duduk di bangku taman yang biasa Rizky dan Chelsea duduki saat ke tempat ini. Rizky sedang memandang awan ke arah pepohonan rindang di seberangnya. Sementara Vanya sedang asyik melihat hasil jepretannya dengan Rizky. Mereka saling diam.

Vanya menggenggam kamera miliknya itu lalu mencoba memotret lagi dengan memincingkan mata kirinya. Tangannya memutar lensa, berharap ia dapat menemukan titik fokus pada gambar yang akan diambilnya. Namun tidak mampu.

"Lo tahu cara ngefokusinnya gak, sih?" ujar Rizky membuat Vanya menurunkan kamerannya, lalu menatap Rizky.

"Enggak." jawab Vanya sambil tersenyum geli. "Lo tahu?"

"Tahu dong. Jangan ngerendahin seorang Rizky yang paling gateng seantero SMA Wijaya, loh!" Rizky menyeringai membuat Vanya tertawa renyah. "Sini gue ajarin,"

Rizky menggeser tubuhnya agar berdekatan dengan Vanya dan memegang kamera tersebut. Tangan Vanya yang juga sedang menggegam kamera membuat Vanya bungkam. Ia membeku sesaat. Untuk kesekian kalinya dalam durasi satu jam, detak jantungnya tiddak mau menuruti apa kata hatinya.

Keduanya diam. Keduannya saling membisu. Keduanya saling menatap tangan mereka yang saling bersentuhan. Keduanya saling merutuki diri agar moment canggung ini berakhir. Keduannya memiliki jantung yang berdetak melebihi ritme sewajarnya. Keduannya mulai berubah pikiran, sehingga keduannya tidak mau tangannya terpisah satu sama lain.

Ini aneh. Bagi Rizky maupun Vanya, keduanya terkejut akan rasa yang tiba-tiba datang, lalu pergi begitu saja, meninggalkan semu merah di pipi keduanya.

Rizky pun melepaskan tangannya, lalu menjauhkan tubuhnya ke kiri. Dengan semu merah di pipinya, Vanya menyibakkan rambutnya ke belakang dan berharap kejadian ini efeknya tidak sampai malam nanti.

Satu hal, Vanya kasmaran.

****

"Ngapain sih, gue harus ngeluarin kata-kata bodoh ke bangke sialan itu? Jadinya gue gak bisa hidup tenang sekarang. Arghh!"

Chelsea memukul angin dengan tangannya yang mengepal di samping kepalanya. Chelsea menyesali atas semua ucapan yang ia lontarkan pada Rio saat bertemu di minimarket tadi. Tidak seharusnya ia menyuruh Rio mengantarkannya ke rumah, sehingga saat ini ia bisa naik ke kamarnya tanpa ada seruan 'cie' dari kakaknya. Chelsea muak.

Kini Chelsea berjalan di trotoar tidak jauh rumahnya. Angin yang semilir juga membuatnya makin kesal lantara ia tidak membawa karet rambut untuk mengucir rambutnya yang berterbangan diterpa angin. Ia jadi ingin pergi ke tempat kenangannya bersama Rizky. Walau sudah lama tidak mereka kunjungi lagi. Namun kenangan tetaplah kenangan. Tidak akan hilang selain memori yang terhapus dari ingatan. Terutama untuk Chelsea sendiri.

Ia menyeberangi jalanan yang sepi, lalu berjalan sekitar seratus meter untuk sampai ke tujuannya. Pohon rindang sudah terlihat dari jalan yang Chelsea lewati sekarang. Ia pun berusaha tersenyum dengan mengingat kenangannya bersama Rizky di pohon tersebut.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang