HURTS ke-lima belas

937 55 0
                                    

15. Kebohongan

"Jangan berbohong mengatasnamakan perasaan, Ky. Andai kamu tahu, rasanya sakit."

-Chelsea

****

"Kalian pada kemana, sih?" Vanya menggerutu sendiri saat mencari Chelsea dan Rizky yang tidak kelihatan batang hidungnya selama bel istirahat kedua berbunyi. Terpaksa, Vanya harus jajan sendirian ke kantin.

Vanya berjalan melewati kelas 12-IPS-2 dengan was-was. Ia takut jika harus bertemu dengan Gladys, yang merupakan hetersnya. Apalagi jika Gladys tahu kemarin ia pergi dengan Rizky, bisa habis Vanya di hajar oleh Gladys dan dua dayangnya. Ketika kelas Gladys sudah terlewati oleh langkahnya, ia menghela napasnya lega karena tidak bertemu dengan kakak kelasnya itu. Lalu saat ia akan berlari menuju kantin, tanpa Vanya tahu, Gladys sudah memanggilnya.

"Lo itu budeg apa gimana, sih? Jangan nyolot lo jadi adek kelas!" Gladys berdiri dengan kaki yang ditekuk sebelah, sembari bersidekap dengan wajah sinisnya. Sementara Sera dan Vio berdiri mengapit Gladys di belakang.

Sial.

"E--enggak, Kak," Vanya berusaha se-sopan mungkin. "Gue, gue mau ke kantin dulu ya, Kak,"

Gladys menurunkan tangannya. "Lo bilang, Gue? Berani ya lo ngomong sama gue pake Gue-Lo," Gladys melotot.

Vanya mengumpat dalam hati. Salah lagi. "Ma--"

"Ga usah ganggu dia, woi," tiba-tiba suara dari belakang Gladys terdengar. Suaranya berat, Vanya mengenal suara tersebut. Dengan suara tersebut, membuat Gladys, dua dayangnya, serta Vanya menoleh menatap Rio yang berjalan dengan santai. "Gue udah bilang, percuma lo ngelarang semua cewek deket sama Rizky. Rizky gak bakal mau sama lo, Bego."

"Lo!" Gladys berteriak, sembari menunjuk Rio. Vanya bisa melihat amarah Gladys yang sudah meluap. Dari kepalan tangan kirinya, Vanya tahu Gladys kesal. "Lo gak usah--"

"Ayo pergi," Rio menarik tangan Vanya sebelum Galdys menyelesaikan kalimatnya. Vanya tentu heran. Ketika tangannya digenggam oleh Rio, Vanya tidak bisa berontak. Ia hanya diam, sambil berpikir, mengapa Rio menariknya?

Rio menarik Vanya sampai di koridor kantin. Vanya akhirnya berontak dan melepaskan tangannya dengan paksa. Rio kaget, lalu menatap Vanya. "Lo kenapa, sih, nyari masalah ke orang sange itu?" tanya Rio.

Vanya menunduk. "Gue gak nyari masalah. Gue cuma lewat kelasnya doang,"

"Itu namanya juga nyari masalah, Bego," ucap Rio.

"Maaf," kata Vanya mendunduk. Lalu ketika mendengar Rio menghela napas dengan kasar, Vanya mendongak dan terkejut melihat pipi Rio yang lebam. "LO KENAPA?"

Rio sontak terpekik kaget. Tangannya langsung bergerak menutupi pipinya. "Nggak..., gak pa-pa,"

"Ih, enggak," Vanya berusaha melihat luka tersebut dengan menghalau tangn Rio yang menutupi lukanya. "Biar gue liat,"

"Enggak. Gue gak pa-pa, Chels!"

Vanya diam. Tangannya kembali ke posisi awal, tidak lagi berusaha melihat luka lebam Rio. Rio juga bungkam. Ia berusaha mencerna kalimatnya kembali. Kenapa Rio malah memikirkan Chelsea? Maksudnya, Chelsea tidak ada di sini. Hanya ada ia dan Rio. Tapi mengapa ia tak menganggapnya? Vanya seperti, sendirian.

"Maaf," ucap Rio bernada sendu.

Vanya mengibaskan rambutnya ke belakang, sambil tersenyum. Senyum yang memang seharusnya selalu muncul ketika ia terluka. Rio tahu, Vanya canggung. "Gak pa-pa. Sini, gue anter ke UKS, luka lo harus cepet diobatin,"

LaraWhere stories live. Discover now