HURTS ke-tiga puluh enam

1.3K 62 23
                                    

36. Obat Penyembuh Luka

"Jika aku tahu akhirnya akan begini, aku tak akan pernah mau memiliki rasa lain selain rasa persahabatan ini, Ky. Sampai bertemu kembali di rasa yang wajar."

*****


Suara ketukan terdengar memekakan telinga Chelsea. Ia memeluk tubuhnya semakin erat sembari menelungkupkan kepalanya sehingga telinganya tertutup dan tak mendengar suara apa-apa lagi-karena sudah cukup suara-suara rintihan lara Chelsea terdengar.

"Chels..., buka dong,"

Isak tangis Chelsea makin nyaring. Tangisnya beradu dengan suara bisik di luar kamarnya, yang Chelsea yakin Rio dan Rafif sedang berdiskusi mengenai keadaannya. Ia tak peduli. Ia terus menangis semampunya. Ia mengeluarkan seluruh rasa yang ia pendam selama ini. Rasanya menyakitkan. Apalagi ketika tanpa seijinnya, otaknya memutar kembali rekaman kenangannya bersama Rizky. Sebelum keadaan berubah. Sebelum Rizky pergi. Semuanya berputar di pikiran Chelsea.

Rasanya perih. Tawa yang seharusnya terus terdengar di telinga Chelsea, malah kini hilang. Senyum yang seharusnya Chelsea nikmati setiap waktu, malah kini hilang. Apalagi sosok yang seharusnya selalu berada di samping Chelsea bagaimana pun keadaannya, malah kini hilang. Chelsea ingin sekali merubah waktu. Ia ingin menghentikan waktu ketika ia berada di rumah pohon bersama Rizky jika ia tahu bahwa esoknya akan begini. Ia ingin mengulangi waktu yang seharusnya minggu lalu ia habiskan untuk Rizky.

"Gue buka, ya?" cakap Rio, terus-menerus meminta Chelsea membuka pintunya. Tapi Chelsea lupa satu hal: mengunci pintu.

Derit pintu terdengar di selipan isakan tangis Chelsea. Chelsea tak mendongak atau hanya sekedar melihat siapa yang masuk. Setelah menutup pintu, langkah Rio semakin dekat dan terdengar was-was. Ia duduk di samping Chelsea dengan perlahan sehingga tak menimbulkan suara. Atmosper dalam ruangan itu berubah. Yang awalnya mencekam, kini semakin mencekam. Dingin AC yang dinyalakan membuat tangan yang menyentuh lantai terasa menyengat. Tapi tidak dengan Chelsea. Ia masih bertahan dengan posisinya dan isakannya.

Di samping Chelsea, Rio bisa melihat kotak bewarna biru dengan pita putih diatasnya. Ukurannya sedang, nampak berisi sesuatu. Tapi kotak itu masih rapih. Seperti belum pernah dibuka oleh pemiliknya. Rio akhirnya paham. Mungkin itu dari Rizky untuk Chelsea.

Lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai dua puluh menit setelahnya, tak ada suara. Hanya hembusan angin AC yang ada dalam ruangan tersebut dan isakan yang sudah mereda. Rio tak mau buka suara. Apalagi Chelsea. Ia masih ingin bergulat dengan perasaannya sendiri. Sebenarnya Rio tak tega melihat cewrk di sampingnya ini terpuruk. Walau ia menyayangi Chelsea, ia tak mau mengganggu Chelsea yang sedang menangisi kepergian Rizky, walau sebenarnya tak perlu ditangisi. Rio selalu menganggap bahwa, perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Perpisahan hanyalah sementara. Tak ada akhir di dunia ini, karena Tuhan selalu mempunyai banyak cara untuk mempertemukan mereka kembali. Tinggal menunggu waktu yang menjawabnya saja.

Kalau boleh jujur, Rio iri dengan Rizky. Rio sempat menyalahkan takdir karena ia dipertemukan dengan Chelsea dalam waktu yang lama. Apalagi ketika tahu Rizky lah yang Chelsea sukai dari dulu, Rio langsung mengutuk dunia ini. Ia tak terima mengapa ia tak dipertemukan oleh perempuan sekuat baja, tapi serapuh ranting tua lebih awal. Dan jika boleh jujur lagi, Rio ingin mengutarakan semuanya. Semuanya. Tentang perasaannya pada Chelsea yang ia pendam sampai detik ini. Tentang betapa ia ingin menyembuhkan luka-luka Chelsea. Tentang-

"Yo...,"

-tentang bagaimana Rio ingin selalu berada di samping perempuan ini, kapan pun, dan bagaimana pun keadaannya.

LaraWhere stories live. Discover now