HURTS ke-tiga puluh satu

1K 70 11
                                    

31. Terus Bersandiwara, Chels

"Dulu aku bertanya-tanya mengapa manusia harus pintar bersandiwara. Kini, aku tahu jawabannya. Kita bersandiwara, setidaknya agar terlihat kuat. Dan aku percaya topeng itu manjur."

*****

Jam yang melingkar manis di pergelangan tangan Eri sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Sementara jadwal keberangkatannya pukul sepuluh lebih dua puluh menit dan ia harus memasuki pesawat sepuluh menit sebelumnya. Eri mendesah kasar. Ia duduk di kursi berjajar tempat tunggu keberangkatan.

Dari kejauhan, Eri bisa menemukan Vanya melangkah dengan santai sembari menggandeng tangan Tante Ita dengan mesra. Eri tersenyum menyambut kedatangan mereka, kemudian mereka duduk Bersama.

"Masa cuma seminggu, sih, Cha?" tanya Vanya dengan wajah yang muram.

Eri terkekeh di sampingnya. Sebetulnya, ia juga tidak rela meninggalkan kota penuh kenangannya ini. Ia masih betah di sini, dan ia rasa ia belum puas jika ia belum berdamai dengan masa lalu. Tapi, apa daya Eri yang sudah melakukan kesalahan fatal yang tak sengaja ia lakukan. Ia tak ingin menyakiti sahabatnya itu untuk kedua kalinya. Maka, ia harus siap dengan apapun keadaannnya.

Untuk Rizky?

Jujur, Eri sendiri tidak tahu, tidak mengerti, dan tidak paham. Pemikiran Rizky terlalu sulit Eri terka. Bagaimana bisa Rizky tidak mengetahui perasaan Chelsea, yang jelas-jelas selalu ada di sampingnya setiap saat? Terutama perlakuan Chelsea yang jelas-jelas menjadikan Rizky prioritas dan melakukan apapun hanya untuk sahabat laki-lakinya tersenyum. Eri tak habis pikir.

"Sebenernya gue pingin sebulan," balas Eri. "But, I can't. Banyak tugas sekolah yang harus gue kejar. Asal lo tahu, ya, sekolah di luar negri lebih ribet dari apa yang gue kira, Nya,"

Dari sebelah kanannya, tangan Tante Ita menepuk pundak Eri, membuat Eri berbalik dan menatap tantenya tersebut. "Kamu harus ke sini tahun depan, oke?" ujar Tante Ita dengan senyuman.

Eri mengangguk. "Janji."

Ketiganya tertawa. "Tante mau nyamperin Om di mobil dulu, ya? Nanti ke sini lagi, kok," kata Tante Ita.

"Mau ditemenin nggak, Ma?"

Tante Ita menggeleng, "nggak usah. Mama udah hapal jalannya, kok,"

Eri dan Vanya mengangguk, kemudian Tante Ita melangkah pergi ditelan lautan manusia yang ada di bandara pagi ini. Keadaan berubah. Vanya sibuk bermain ponsel, sementara Eri memperhatikan sekerumunan orang yang sedang mengantri untuk Check in. Tak ada yang bersuara, selain bunyi notif dari ponsel Vanya.

"Nya," panggil Eri lembut.

Vanya menoleh, kemudian mematikan ponselnya dan memasukannya ke saku. Eri yang disuguhi tatapan penuh tanda tanya dari sepupunya ini menjadi ciut nyalinya. Sebenarnya ia akan mengutarakan apa yang selama ini ia belum berani ucapkan pada Vanya. Tentang bagaimana hubungan Vanya dengan Chelsea, hubungan Rizky dengan Chelsea, sekaligus hubungannya dengan mereka. Eri takut membuat Vanya menyesali hubungannya.

"Gini," kata Eri pelan-pelan, "mungkin ada banyak hal yang belum gue sampaiin ke lo. Tapi," tenggorokannya kering. "Gue, Rizky, dan Chelsea dulu sahabatan."

Vanya diam. Ia mendengarkan cerita Ericha dengan seksama. Ia tahu, ketika ia mengetahui masa lalu Rizky, hatinya akan merasa menyesal menerima sosok Rizky di hidupnya, tapi, ia juga ingin tahu masa lalu Rizky. Bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Dan bagaimana perasaan itu tak sampai.

Laraحيث تعيش القصص. اكتشف الآن