HURTS ke-sepuluh

1.1K 55 2
                                    

10. Pemadam Api di Hati

"Sebenarnya tidak tega melihat seseorang menangis karena cinta. Tapi bagaimana lagi? Cinta hanya berkisah luka dan tangis, kan?"

****

Rio melangkah dengan santai menuju ruang teater di lantai dua sebelah ruang penyimpanan alat-alat olahraga seperti bola basket, bola sepak, dan yang lainnya. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan pukul empat sore. Yang Rio ketahui, jadwal teater hari ini akan selesai jam empat sore, maka Rio berniat menyusul Chelsea agar ia mengajarinya lagi.

Walau gadis itu adalah cewek terparah yang Rio ketahui, mau tidak mau ia harus bertemu dengannya saat latihan tiba. Sedikit malas, sih, melihat wajah jutek Chelsea saat ia salah memetik senar gitar. Cewek galak adalah kalimat yang saat ini Rio pikirkan. gue harus ketemu cewek galak itu. Dan setelah itu, nggak akan ada kata latihan bareng dia lagi.

Saat sampai di ujung anak tangga, Rio mendengar canda tawa Chelsea semakin mendekat ke arahnya. Rio jadi gelagapan seperti ketahuan mencuri---mencuri percakapan. Tunggu, Rio tidak merasa nguping. Ia menyakinkan dirinya bahwa ini bukan sengaja, ini hanyalah ketidaksengajaan yang amat Rio suka.

"Gokil, sumpah. Eh, tapi gue suka aktingnya Kak Vika, tahu. Kayak bener-bener emosi gitu, salut deh,"

Rio mendengar jika Chelsea tertawa lagi. Rio langsung menuruni anak tangga dan masuk ke dalam kelas yang tepat berada di samping tangga. Perlahan, Rio menutup pintu sambil menyimak percakapan Chelsea dengan temannya.

"Gue pulang dulu, ya? Pembantu gue ngoceh mulu minta janji," ucap gadis yang bersama Chelsea tadi.

"Janji ngapain, sih?"

"Dia minta diajarin bahasa Inggris biar gaul, katanya," keduanya tertawa. "Gue duluan ya? Take care, ya!" gadis itu berlari kecil melewati kelas yang menjadi tempat persembunyian Rio.

Rio terkekeh samar mendengar teman Chelsea sama gilanya dengan Chelsea. Sesaat setelah itu, langkah kaki kembali terdengar di depan kelas. Rio yakin jika suara tersebut berasal dari langkah Chelsea. Rio bungkam.

"Eh, Vanya. Lo kok belum pulang?"

Rio mengintip dari celah pintu, melihat jika cewek menghampiri Chelsea dengan senyumnya. Rio bisa melihat jika cewek yang disapa Chelsea menjadi canggung.

"Iya, belum dijemput supir," kata cewek yang dipanggil Vanya.

Chelsea mengangguk. "Rizky mana? Keluar bareng nggak tadi?"

Vanya menaikan bahunya. "Nggak tahu. Tadi sih keluar dulu,"

"Oh," Chelsea berlalu dengan Vanya di sampingnya. Rio yang melihat Chelsea sudah jauh dari kelas, membuka pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Rio mengikuti Chelsea dengan hati-hati takut ketahuan. Sebenarnya ini bukan perkerjaan Rio. Menguntit sangat bukanlah hal yang Rio sukai.

"Gue ke kamar mandi dulu, deh," ucap Vanya membuat Rio mundur selangkah dan bersembunyi di balik pot besar samping kamar mandi. "Lo mau nungguin atau langsung pulang?"

"Langsung pulang aja, deh," Chelsea tersenyum lalu melambaikan tangannya pada gadis yang balas melambaikan tangannya. "Daah! See you, Vanya!" Chelsea berlari menuju koridor kantin.

LaraWhere stories live. Discover now