HURTS ke-dua puluh delapan

971 66 9
                                    

28. Terbongkar

"Bahkan ketika perasaan ini tersampaikan kepada orang yang salah, aku masih saja menganggapnya benar."

*****

Jika boleh jujur, ketika Vanya berada di samping Rizky, Vanya ingin menghentikan waktu. Bagi Vanya, kebahagiaannya sudah cukup. Walau ada banyak orang yang menjadi korban. Tapi, sekali ini saja, ia ingin egois. Ia ingin memiliki Rizky, dan akhirnya doanya terkabulkan sendiri.

Kini, mereka duduk di sebuah rumput hijau di lapangan dekat taman. Sebenarnya ada bangku di samping lampu penerangan taman. Namun mereka memilih duduk beralaskan rumput. Kaki mereka sama-sama menekuk. Kepalanya menengadah ke atas, menatap awan yang menggumpal menghiasi langit biru. Keduanya saling diam, menikmati alam dengan cara mereka masing-masing.

Rizky memejamkan matanya, seperti biasa ketika ia melihat langit. Dengan balutan seragam putih abu-abunya, ia memeluk lututnya sendiri. Satu pertanyaan di benak Rizky; bagaimana keadaan ini bermula? Pasalnya, beberapa hari ini situasinya berubah 180derajat. Chelsea bukan lah Chelsea yang Rizky kenal. Sementara Rio—Rizky tahu ini aneh karena setelah kejadian tersebut ia selalu memperhatikan gerak-gerik Rio—ia tak berubah. Masih sama menatapnya sinis jika berpapasan di sekolah. Rasanya mereka masi sama seperti rival.

Rizky dan Chelsea kembali seperti orang asing. Kembali seperti ketika Rizky pindah di dekat rumah Chelsea. Perbedaannya, saat itu mereka masih tak segan untuk memperkenalkan diri untuk pertama kalinya. Sementara kini, rasanya canggung ketika berada dalam satu ruangan. Contohnya saja tadi.

Ketika pelajaran Kimia, secara tidak sengaja guru menunjuk Rizky dan Chelsea untuk meminjam buku di perpustakaan. Dan bisa kalian bayangkan betapa canggungnya mereka ketika menuju perpustakaan. Terutama Rizky. Ia tak mau buka suara, bahkan untuk berjalan seiringan pun tak mau. Rasanya berbeda sekali.

"Ky...," panggil Vanya, membuat lamunan Rizky buyar.

Rizky menoleh ke arah Vanya yang kini menatapnya dengan mimik wajah yang lesu. "Apa?"

"Lo pikir, gue egois?"

Rizky tak ingin membicarakannya.

"Maaf...," ucap Vanya, lirih.

Seperti waktu diputar, ia jadi ingat Chelsea. Lagi dan lagi. Ketika Chelsea mengucapkan maaf dengan wajahnya yang memelas, yang membuat Rizky tak tega untuk mendiamkan sahabatnya itu. Tapi ... lagi-lagi bukan seperti itu keadaannya.

"Serius, gue ga—"

Belum selesai Vanya mengucapkan kalimat, Rizky sudah dulu mengulurkan tangannya ke kepala Vanya, kemudian merusak tatanan rambut Vanya. Otomatis, Vanya diam. Kemudian Rizky mengelus nya lembut. "Lo gak perlu bersalah. Nyatanya gue milih lo, kan?"

****

"... ya, karna gue pikir, semesta gak bakal sejahat ini sama gue, Taz,"

Lagi-lagi seperti ini. Menangisi keadaan dan menyalahkan semesta atas kebenaran yang ia tahu. Kejadiannya sudah berlalu. Tapi tak sepenuhnya berlalu dari pikiran Chelsea. Bahkan, rasanya seperti baru terjadi sedetik yang lalu. Rasa sesaknya tak berkurang. Tak sedikit pun.

Malam ini, tanpa diundang, Tazka bermain ke rumah Chelsea. Chelsea sendiri terkejut ketika Rafif yang sedang menonton TV berseru kepada Chelsea bahwa ada teman yang datang. Yang Chelseaa pikirkan pertama kali adalah; Rizky datang, seperti biasanya. Ia lupa bahwa keadaannya berubah total.

Kini, Chelsea menyandarkan kepalanya di pundak Tazka. Kemeja flanel yang Tazka pakai sudah basah dengan air mata Chelsea. Kertas yang seharusnya menjadi naskah tambahan untuk Teater malah basah dan luntur tintanya. Seperti diguyur hujan, namun dari mata.

LaraWhere stories live. Discover now