HURTS ke-tiga puluh

1K 68 12
                                    

30. Lega

"Walau sudah ada orang yang akan selalu di sampingmu, aku akan tetap mendampingimu, sebagai sahabat, yang tak pernah menciptakan rasa yang lain."

*****

Mungkin, ketika hujan turun, Chelsea bisa sedikit lebih tenang. Hanya saja, terlalu sulit untuk terus melanjutkan usahanya untuk melupakan seorang Rizky dari otaknya. Hujan membuatnya tenang. Hanya saja, hujan membawa Rizky larut dalam lamunan Chelsea.

Maka, di sinilah Chelsea. Dengan penuh keberanian, ia berdiri di depan rumah sakit dengan tentengan kantong plastik berisi buah dan roti kesukaan Rizky. Tak lupa, susu putih yang menjadi kesukaan Rizky sejak dulu. Ia hanya berdiri, menengadah ke langit dan memejamkan matanya. Ia merasakan tiap tetes hujan yang menampar wajahnya. Hatinya tenang, yang membuatnya berani melangkah masuk ke dalam rumah sakit.

Hal yang Chelsea benci ketika masuk ke sebuah gedung bernuansa putih tersebut adalah bau antiseptik yang selalu menyengat. Serta juga melihat wajah kekhawatiran para keluarga pasien yang menunggu di ruang tunggu. Chelsea tak tega melihantnya. Terutama hal tersebut sedang dilakukan Chelsea. Ia tak suka.

Chelsea berjalan gontai menuju lift. Ia memencet tombol bernomor 2, kemudian menunggu di dalam lift dengan pandangan tak menentu. Entah mengapa, ketika Chelsea melangkahkan kakinya ke dalam rumah sakit, hatinya tenang. Bahkan ia tersenyum sembari lift membawanya ke lantai dua setelah semenit menunggu.

Namun, ketika pintu lift terbuka dan menampakkan koridor lantai dua, senyumnya melemah. Ia meremas kantong plastik
lebih erat, seperti ada rasa tak kuat untuk melihat keadaaan Rizky. Terutama soal kejadian kemarin. Chelsea tak ingin melihatnya untuk kedua kali.

Pandangannya tertuju pada ujung koridor. Kemarin, ia berdiri memantung di sana. Ia memegang kenop dengan tangan gemetar, dan mata yang berat karena membendung air mata. Kemarin, hatinya terluka di tempat tersebut. Kemarin, hatinya patah ketika mengintip isi ruangan. Kemarin..., ia benci kemarin.

Mungkin orang akan mencacinya karena hal bodoh yang ia lakukan hari ini; mengunjungi seorang yang mungkin tak ingin dikunjungi oleh Chelsea. Tapi, entah mengapa, Chelsea tenang. Namun, jika Chelsea katakan ia akan kuat tersenyum sepanjang ia mengetuk kamar Rizky, Chelsea salah besar. Buktinya, ia menekuk senyumnya, merubahnya menjadi ekspresi takut.

Sebelum pintu lift kembali tertutup, seperti ada dorongan yang Chelsea tak tahu dari mana, kakinya melangkah. Langkahnya berat. Seperti ada yang menahannya untuk pergi ke ujung koridor—yang Chelsea tahu, yang menahannya adalah perasaannnya sendiri.

Koridor sepi. Hanya ada beberapa perawat yang mendorong troli berisi makanan atau obat untuk para pasien. Tak sedikit juga sandal yang berserakan di depan kamar, yang menandakan bahwa pasien sedang dikunjungi oleh seseorang. Ketika sampai di kamar bertuliskan angka 80, Chelsea mengulangi apa yang ia lakukan kemarin.

Ia berdiri, memantung dengan mencekram kantong plastik lebih erat. Ia memandang pintu dengan perasaan was-was. Cukup lama. Ia menghabiskan waktu hanya dengan berdoa dalam hati bahwa di dalam, hanya ada Rizky sedang istirahat, tanpa ada Vanya, atau siapa pun.

Lima belas menit berlalu, tangannya bergerak memegang kenop pintu. Namun, ketika tangannya hendak membuka kenop, ada tangan yang menahannya. Sontak, Chelsea menoleh dan mendapati Eri sudah berdiri di sampingnya. Spontan, hati Chelsea panas. Seperti ada api yang membara di tubuhnya, yang membuatnya menatap Eri dengan segan.

"Lo gak mau liat apa yang nggak pingin lo lihat, kan?" celetuk Eri, di tengah tatapan mereka yang saling bertemu.

Oke. Chelsea paham.

LaraOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz