HURTS ke-dua puluh sembilan

958 67 12
                                    

29. Aku Bertemu Seseorang yang Seharusnya Tak Ku Temui

"Karena aku manusia munafik yang seringkali lupa bahwa kamu miliknya, bukan aku."

****

Jika ada cara untuk mempermudah proses melupakan selain harus capek-capek beraktivitas, Chelsea akan melakukannya. Jika menyibukkan diri dengan beraktivitas, bukan hanya hatinya yang lelah, tapi badannya juga lelah. Seperti pada sore hari ini, setelah pulang sekolah dengan suasana yang masih sama seperti kemarin—canggung—Chelsea langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia tak melepas tasnya. Jadi ia tidur terlengkup dengan tas yang masih ada di punggungnya.

Selama beberapa menit ia hanya terpejam dan menghela napasnya berkali-kali, akhirnya ia bangkit. Ia melepaskan tasnya di kursi belajar, kemudian duduk di kursi tersebut. Ia kembali menghela napasnya sebelum mengambil buku Diary, yang selama ini sering ia buka untuk menumpahkan isinya.

Halaman pertama, masih sama. Gambar dirinya dengan Rizky masih terpampang jelas, dan lagi-lagi membuat Chelsea harus menghela napasnya dalam-dalam. Ia membuka halaman terakhir, yang ia tulis kemarin malam. Kemudian, ia mengambil pulpen dari dalam tasnya, kemudian menuliskan isi hatinya kembali.

Isinya sama. Masih sama seperti kemarin. Aku masih tak ingin melihatnya, namun ketika namanya terdengar di telingaku, hatiku berdebar cepat. dan halaman sebelumnya sama persis dengan apa yang ditulis sekarang.

tok. tok. tok.

Chelsea berhenti menulis. Ia memandang ke arah pintu dan tak lama kemudian Ibunya terlihat dari balik pintu. Wajahnya kuyu. Seragam kantor yang ia pakai masih melekat di tubuhnya. Tangannya menenteng dua tas yang ia tahu pasti Ibunya beli dari mall. Senyum ibunya tak pudar. Tersenyum dengan wajah lesu.

Chelsea diam. Ia tak mau membalas senyum ibunya, yang Chelsea tahu senyum itu tulus. Ibunya menenteng tas, kemudian berkata, "ini tas buat kamu," ucap ibu Chelsea membuat Chelsea hendak beranjak menerimanya. "Dari Papa,"

Diam. Hatinya memanas, tangannya tak kuasa untuk mengambil barang itu dan melemparnya ke tong sampah depan rumah. Tapi ia tak kuasa.

Mamanya melangkah, akan memasuki kamarnya. Namun buru-buru Chelsea mencegahnya, dan memegang pintu untuk menghalangi ibunya masuk. "Gue gak butuh Tas dari siapa pun. Yang gue butuh, cuma ibu yang bener-bener seorang Ibu." kemudian ia menutup pintunya. Tapi, belum genap ia menutup, ia membukanya lagi, lalu berkata, "Dan Papa gue udah di surga."

Chelsea membanting pintunya dan mengunci kamarnya. Ia kembali duduk ke kursi belajarnya, kemudian membenamkan wajahnya dengan kedua tangannya. Ia ingin menjerit. Menjerit sekencang-kencangnya agar hatinya bisa lebih lega. Tapi apa yang ia bisa lakukan selain memendam semuanya?

Tak lama setelahnya, ponsel di saku seragamnya bergetar, memunculkan notif.

Devario : Gue di depan.
Devario : Cepet keluar.
Devario : Penting.

Chelsea mengintip pada jendela kamarnya, terlihat Rio dengan motornya sedang memandang ke arahnya juga. Chelsea menghela napasnya, kemudian keluar dari kamarnya dengan langkah cepat. Ketika sampai di ruang tamu, Ibunya dan "Orang Asing" sedang berbincang-bincang di sofa. Jika Chelsea mampu, ia akan menghampiri "Orang asing" tersebut dan mengatakan bahwa ia tak berhak menginjak rumah ini. Tapi, bisa apa dia?

"Chels, mau kemana?" tanya ibunya, yang tak Chelsea gubris.

Chelsea keluar, dan memakai sandalnya. Ia menghampiri Rio yang sudah menunggu dengan wajah cemasnya. Awalnya Chelsea ingin bertanya to the point tentang kedatangannya ke sini. Tapi melihat gelagat Rio yang tak seperti biasanya, ia hanya diam dengan wajah muramnya—tapi lebih cocok dikatakan wajah sangar.

LaraWhere stories live. Discover now