HURTS ke-dua puluh empat

968 56 5
                                    

24. Sebuah Mawar Untuk Vanya

"Ketika aku beralih pada seseorang yang lain, aku selalu saja tersendat. Apalagi ketika kamu menunjukan bahwa bukan aku yang pantas di sampingmu. Setega itu kah?"

****

Seiring berjalannya waktu, langkah Vanya semakin melambat. Matanya tertuju pada sebuah buku yang berada di rak paling atas. Ia mendongak, lalu mendesah resah. Bagaimana caranya untuk mengambil buku tersebut? kakinya terangkat, jemari kakinya bertumpu pada lantai. Ia berjinjit dan mengulurkan tangannya ke buku yang menarik minatnya. Namun hasilnya nihil. Tangannya tak terlalu Panjang untuk menggapainya.

Vanya mencobanya sekali lagi. Kini matanya menatap ke bawah, berusaha menggapai bukunya. Namun hasilnya sama saja. Tidak sampai. Vanya mendesah. Ia menyerah menggapai bukunya, dan tubuhnya berbalik untuk melihat buku-buku yang lain yang ada di gramedia. Ketika hendak berbalik, Vanya memekik kaget melihat sosok Rizky berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang lebih tinggi darinya membuat Vanya harus mendongak untuk memastikan benar Rizky atau bukan.

Rizky tersenyum ketika Vanya mulai menatapnya. Mungkin ini canggung. Tapi Rizky terus saja tersenyum manis. Vanya jadi kikuk. Ia hanya bisa tersenyum kecil sembari mengutuk jantungnya yang tak mau berdetak secara normal. Ketika tatapan mereka bertemu, detak jantung Vanya semakin kencang. Ah, Vanya benci dengan perasaan seperti ini.

Vanya mundur selangkah untuk membuat jarak diantara mereka. Tanpa sadar, Rizky yang memerhatikan gerak-gerik Vanya kini terkekeh. Tingkah laku Vanya yang kikuk cukup membuatnya terkekeh. Rizky jinjit. Ia mengambil buku yang hendak Vanya ambil tadi. Vanya juga ikutan mendongak. Tangan Rizky yang panjang mampu menggapai buku tersebut. kemudian Rizky menyerahkan buku itu pada Vanya.

Vanya bungkam. Ia hanya berdiri terpaku sembari memandang buku yang Rizky sodorkan pada Vanya. "Ini kan yang pengin lo ambil?" tanya Rizky semakin membuat detak jantung Vanya berdetak lebih kencang.

Vanya mengangguk dengan perlahan. "Ma--makasih, Ky."

Kekehan Rizky kembali terdengar. Vanya sontak mendongak. Menatap raut wajah Rizky yang memerah karena terkekeh. Ia menautkan sebelah alisnya, keheranan melihat tingkah Rizky yang aneh. Apanya yang lucu?

"Lo gak usah berlagak canggung, deh. Udah biasa bareng juga," ucap Rizky seperti membaca pikiran Vanya.

Pipi Vanya memerah. Vanya berdoa dalam hatinya agar cowok di hadapannya ini tidak terlalu memperhatikan raut wajah Vanya. Jika Rizky tahu Vanya malu, mau di taruh dimana muka Vanya?

"Lo pake blush on, ya?" tanya Rizky, "merah gitu,"

Yah. Sial.

Vanya menutup kedua pipinya, "enggak!" pekik Vanya tanpa sadar. "Maksud gue, enggak. gue gak pake,"

Seringai jahil terbit di bibir Rizky. Vanya menggigit bibir bawahnya. "Jadi, lo malu, ni?"

"Ih, apaan, sih?"

"Ketauan, cie,"

"Enggak." Vanya beranjak meninggalkan Rizky yang menatapnya dengan jahil.

Di belakang Vanya, Rizky berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan Vanya. Rizky bisa menangkap sosok Vanya yang sesekali meliriknya dengan malu. Rizky tahu tabiat Vanya. Pemalu. Vanya tak bisa menutupi ekspresi malunya ketika berada di dekat Rizky. Jadi lampu hijau?

Vanya berhenti di sebuah rak pendek yang terdapat buku dengan halaman tipis. Vanya mengambil buku tersebut, lalu membalinya untuk membaca sinopsisnya. Butuh waktu beberapa menit untuk Vanya membacanya sebelum menaruhnya ke posisi semulanya lagi. Vanya melakukan itu berulang kali hingga ia terpaku pada sebuah novel yang tak jauh dari tempatnya membaca novel pertama.

LaraWhere stories live. Discover now