HURTS ke-dua puluh lima

1K 73 15
                                    

25. Cukup

"Cukup bagiku untuk meneruskan perjuangan yang tak berhasil. Kini, kata kita tak akan ada lagi dalam setiap bab dalam cerita aku dan kamu."

****

"Nya?"

Jantung Vanya nyaris copot ketika Rizky memanggilnya dengan lembut, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia katakan. Memang ada. Dan Vanya pikir, bukan hanya sebuah hal yang sepele. Vanya merasa yakin bahwa ini diluar dugaannya.

Mereka duduk di sebuah bangku taman dekat dengan rumah Rizky, seperti yang Rizky bilang sebelumnya. Vanya yang memang pemalu pada orang yang sudah akrab, hanya bisa tertegun duduk di bangku dengan bibir bungkam. Matanya melirik ke sana kemari mencari sesuatu yang bisa mengalihkan degupan kencang jantungnya. Tak ada apa-apa. Hanya pohon, semak-semak, dan langit tanpa awan. Ia gagal mengalihkan degupannya.

Vanya menoleh dengan lambat, dengan ekspresi yang tak kikuk--terlihat jelas di senyumnya. "Ha?"

Posisi Rizky berubah. Yang awalnya duduk di samping Vanya, kini bangkit, dan berlutut di hadapan Vanya. Vanya tertegun. Ia bungkam. Rasanya ingin menjerit dan menunjukan pada dunia bahwa ia bisa bahagia. Setelah hatinya dipatahkan oleh Oka, ia masih bisa membangkitkan kupu-kupu yang sudah lama tak berterbangan di hatinya.

Tangan kanan yang sendari tadi Rizky letakan di balik punggungnya kini terulur dengan setangkai mawar merah. Vanya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Di balik telapak tangannya, bibirnya menganga dengan senyum lebar. Ia mendesah karena ia tak menyangka bahwa Rizky sedang berlutut dengan setangai mawar di tangannya. Sudah pasti kah bahwa mawar itu untuk Vanya? Oh, sungguh. Rizky mengangguk seolah-olah ia tahu apa yang Vanya pikirkan.

Sore ini, Vanya benar-benar terbang tinggi. Bahkan ia tak ingin melihat ke bawah, karena Rizky ada bersamanya.

"Lo," ucap Rizky perlahan. Matanya menatap Vanya dengan lekat. Bibirnya tersenyum manis, membuat Vanya hampir menitikkan air matanya. Kedengaran alay, tapi memang begini. Vanya benar-benar bahagia. "Mau jadi pacar ... gue?" lanjut Rizky.

Jantung Vanya sukses jatuh ke perutnya.

Rizky deg-degan menanti jawaban Vanya. Seketika, bayangannya ketika menyatakan perasaannya pada Eri muncul. Sesak. Tapi ia harus optimis kali ini. Iris mata Rizky tak beralih memandang bola mata Vanya. Ada binar yang terpancar di bola matanya. Rizky menaikan sebelah alisnya sebagai isyarat untuk menunggu jawaban. Rizky bisa melihat, Vanya mengangguk samar, dan jantung Rizky benar-benar berhenti berdetak.

Tangan Vanya terulur menerima mawar tersebut. Ketika mawarnya berpindah ke tangannya, Rizky bangkit. Spontan, Vanya juga ikut bangkit. Sedetik kemudian, Vanya berada di dalam pelukan Rizky. Hangat. Nyaman. Badannya pas di dalam pelukan Rizky. Vanya tak bisa berhenti tersenyum, sama halnya seperti Rizky. Ia tak bisa menutupi giginya. Bibirnya terus saja tersenyum. Sore itu, Vanya menjerit dalam hati, ia sudah jadi milik Rizky.

Beberapa saat setelahnya, pelukan tersebut lepas. Disambut dengan kedatangan Rio dan Chelsea yang berada di belakangnya. Tangan mereka terkait. Raut muka Rio seperti akan memakan orang. Rizky yang masih terkaget itu mengerutkan keningnya melihat tangan Rio dan sahabatnya terkait. Sementara Chelsea, ia hanya bisa menunduk sambil menangis. Ia hanya bisa bungkam. Hatinya semakin tercabik ketika melihat Vanya dan Rizky. Chelsea tahu, ia bukanlah siapa-siapa lagi bagi Rizky, selain sahabat.

"Puas, lo?!" pekik Rio tanpa basa-basi.

Rizky menautkan sebelah alisnya, sementara matanya terus beralih ke sosok Chelsea yang hanya menunduk sendari tadi. Sedangkan Vanya masih kaget dan tidak bisa berkata apa pun. Ia tak bisa mlihat raut wajah Chelsea. Ia jadi khawatir dengan Chelsea.

LaraWhere stories live. Discover now