HURTS ke-tujuh belas

906 55 0
                                    

17. Hari Spesial

"jika aku mengatakan 'pergilah', bukankah itu berarti 'jangan pergi'?"

****

Kalau Chelsea boleh memilih tinggal dengan seorang ibu tanpa kasih sayang atau memilih hidup sendiri, dia akan memilih pilihan kedua. Karena sama saja rasanya sakit, namun lebih baik hidup sendiri dibandingkan ada, namun tak dianggap. Sama saja seperti kamu berjuang untuk terus berada di sekitarnya, tapi keberadaanmu sama sekali tidak dianggap. Itu sakit.

Setelah kejadian tadi di caffe Hobs, Rio membawa Chelsea ke mobilnya. Mereka tidak kemana-mana. Hanya berada di dalam mobil dengan suara terisak milik Chelsea. Mereka belum ada yg bicara semenjak berada di mobil. Chelsea masih sibuk mengeluarkan air matanya sedangkan Rio sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan. Seharusnya Rio bisa menenangkan Chelsea seperti biasanya ketika ia terluka, tapi ini berbeda. Tidak semua hal bisa Rio atasi. Ini salah satu contohnya.

Chelsea masih saja sesak. Bagaimanapun caranya untuk melupakan sejenak kejadian tadi rasanya sulit. Karena Chelsea berpikir, harusnya hari ini ia mengeluarkan tangis bahagia. Menguras air mata di depan sahabat atau orang yang ia sayangi dengan senyum terharu. Bukannya menguras air matanya untuk menangisi ibunya yang bahkan tidak tahu kapan ia melahirkan Chelsea. Chelsea pikir ini sudah kelewatan batas. Seharusnya seorang ibu tahu tanggal lahirnya, walaupun sang ibu melewatkan bnyak hal tentang dirinya.

Chelsea mengambil tissu dari dashboard di sampingnya sambil menutupi mulutnya, lalu membersihkan ingusnya yang makin lama makin menjadi. Ia membuang tisu ke kantong kresek hitam yang sudah disediakan Rio saat mereka di caffe. Chelsea menangis sesenggukan lagi, lalu mengambil tisu kembali. Ia mengulangi hal tersebut berkali kali, hingga kaantong kresek tersebut sudah penuh dengan gumpalan tisu. Rio ingin mengakhirinya. Chelsea pun begitu. Namun sesak memang sulit diredakan.

"Chels...," Rio berusaha membuka suara. Namun getaran ponsel Chelsea dari dalam tasnya mengalihkan fokus Chelsea.

Chelsea membuka locksreennya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sibuk menampung air matanya dengan tisu. Rio memperhatikan gerak gerik Chelsea dengan baik. Setelah room chat whatsapp terbuka, Chelsea langsung membulatkan matanya kaget. Rio yang melihat nama Rizky yang mengirimkan pesan makin mengerutkan keningnya. Ia duduk lebih bersandar pada jok mobil sembari melirik ke ponsel Chelsea. Rio ingin tahu penyebab Chelsea kaget.

Belum berhasil Rio mengintip percakapan Rizky dan Chelsea, Chelsea sudah menjerit histeris, membuat Rio terlonjak kaget. "ANTERIN GUE KE RUMAH POHON, CEPET!" seru Chelsea.

Rio bingung, namun mau apa lagi? Ia mengangguk dan mulai menyalakan mesin mobil dan meningalkan halaman parkir caffe Hobs. Di tengah perjalanan, Chelsea panik. Ia makin menangis sesenggukan. "Kenapa, Chels?" tanya Rio was-was sembari fokus menyetir.

"Rizky...," suara Chelsea melemah. "Dia luka..., kakinya ... keperosok rumah pohon. Memang kayunya udah, udah lapuk,"

Rio paham. Yang bisa membuat Chelsea khawatir begini hanya Rizky saja. Tidak ada yang lain, bahkan Rio sendiri tidak bisa membuat Chelsea se-khawatir ini. Maka Rio hanya mengangguk dan menambah kecepatan laju mobilnya.

Setelah beberapa menit perjalanan, mobil Rio berhenti di halaman rumah Rizky. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Chelsea langsung membuka kenop pintu dan berlari menuju rumah pohon. Rio ingin mencegah, namun Chelsea sudah terlanjur sangat khawatir. Maka Rio menghilangkan pikirannya untuk mengikuti Chelsea. Ia masuk kedalam mobil lagi, lalu menghembuskan napasnya kasar. Ia bukan siapa-siapa bagi Chelsea.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang