HURTS ke-tiga puluh lima

1.1K 64 14
                                    

35. Menentang Takdir

"Karena kamu suka menawarkan cerita, padahal dalam skenario, aku tak ada di dalamnya."

****


Keesokan harinya, keadaan masih sama. Perasaan Chelsea masih kosong, sementara sepi semakin melanda tak karuan. Pelajaran seni budaya yang seharusnya membuat Chelsea tersenyum semringah, malah sebaliknya. Ia hanya menunduk sembari menelungkupkan kepalanya dalam pelukan lengannya di meja. Sampai Pak Arman harus menepuk pundak Chelsea, baru ia sadar bahwa ia masih harus menghadapi realita setiap harinya.

Dua hari setelahnya, masih sama. Chelsea tak tahu pasti apakah penyebab kekosongan di dalam dirinya memang karena Rizky yang tak nampak di sekolah. Atau bisa saja, memang begitu kenyataannya. Tapi, seharusnya ia lega. Doanya dikabulkan, seharusnya ia lega. Rizky yang selalu pandai menyakitinya dengan berbagai cara itu lenyap dari pandangannya. Seharusnya ia senang, hatinya tak akan terluka lagi. Tapi, mengapa kenyataannnya seperti ini.

Ketika hari berganti, mood Chelsea semakin buruk. Apalagi setelah seminggu Rizky tiddak hadir—bahkan melihat batang hidungnya saja tidak, Chelsea hanya tiduran di kelas. Ia tak ingin pergi jajan. Entah mengapa, ia merasa takut jika disodorkan berbagai macam pertanyaan; kemana perginya Rizky, sementara setengahnya ia juga yakin ia tak berhak ditanyai seperti itu. Karena sudah ada Vanya.

Berbicara soal Vanya, Chelsea merasa tak ada yang berubah dari Vanya. Walaupun Chelsea jarang keluar kelas dalam seminggu ini, tapi ketika matanya tak sengaja melihat Vanya selesai dari kelas fotografi, Vanya baik-baik saja. Maksud Chelsea, wajah Vanya tidak mengisyaratkan bahwa ia kehilangan sosok di sampingnya. Seperti Vanya tidak kehilangan Rizky.

Melihat sikap Vanya yang seolah-olah keadaan tak ada yang berubah, Chelsea kembali berpikir ulang. Jika Vanya yang jelas-jelas milik Rizky tidak bersedih ketika Rizky hilang, mengapa dirinya yang merasa kosong? Kalau soal berapa lama ia berdiri di samping Rizky, memang, Chelsea akui, ia lah orangnya. Tapi ia bukan milik Rizky. Rizky bukan miliknya. Perasaan Chelsea memang untuk Rizky. Tapi perasaan Rizky bukan untuk Chelsea. Jadi, munafik kah jika ia merasa kosong?

"Chelsea!"

Chelsea terbangun dari lamunannya. Ketika ia mendongak, Ia mendengus saat melihat Tazka berdiri di hadapannya dengan wajah galak. Istirahat kedua sedang berlangsung. Tapi sama seperti kemarin, Chelsea enggan untuk keluar kelas.

"Hm?" balas Chelsea acuh tah acuh.

"Mau titip jajan apa lo?"

Bahkan untuk memasukan sesuatu ke dalam perutnya saja, ia enggan. Tanpa merespon kebaikan Tazka, Chelsea malah kembali menelungkupkan wajahnya ke dalam lengan yang ditekuk. Tazka yang melihat sikap Chelsea yang semakin buruk setiap harinya, menjadi geram.

Tazka menarik tangan Chelsea dengan paksa. Lalu ketika kepala Chelsea terangkat, wajahnya mendadak berubah jadi sangar. Tatapan matanya yang sadis membuat Tazka kembali mengembalikan posisi Chelsea. Tazka merasa ngeri sendiri jika tatapan sadis itu mulai mengarah padanya. Tapi Tazka juga tak tega melihat Chelsea sengsara seperti ini.

"Lo mau sampe kapan jadi mayat hidup kayak gini, ha?" tanya Tazka sembari duduk di bangku depan Chelsea. Ia menatap Chelsea dengan desahan kesal bercampur lelah.

Sementara Chelsea, dalam wajah yang tidak ia perlihatkan pada Tazka, Ia memantung. Urat di wajahnya mengeras, bahkan untuk berkedip saja sulit. Pikirannya bekerja untuk mencari jawaban atas pertanyaan Tazka ini. Bukannya menemukan jawaban, ia malah menemukan pertanyaan baru. Sampai kapan ia akan seperti ini?

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang