Prolog

11K 415 50
                                    

Sara tahu dunia terus beputar dengan atau tanpa dirinya. Dunia selalu punya satu aturan pasti, entah ia turut menyumbang sepakat atau tidak: bergerak terus. Meski, kadang Sara mau berdiam saja pada titik tertentu. Mustahil, tentu saja. Toh, meksi membenci perubahan pada akhirnya ia cuma bisa pasrah dihanyutkan waktu ke berbagai ruang. Jakarta ke Malang, lalu kini Jakarta lagi.

Setengah isi kamarnya telah masuk ke dalam kardus-kardus besar yang dikancingkan dengan tali rafia merah. Setengahnya lagi tumpah ruah ke lantai, menunggu giliran dikemas. Sementara Sara terpojok di kaki tempat tidur. Merasa telah mengerahkan segenap tenaga dan yang tersisa kini cuma rasa lelah.

Sara tak siap. Terlalu banyak perubahan yang terjadi. Terlalu banyak ketakutan yang menekannya sampai ia pikir akan meledak kapan saja.

Sampai bilah pintu kamarnya merenggang dan Bunda mengintip ke dalam. Memindai seisi kamar. Tak luput ke pada Sara di kaki dipan yang kebingungan sembari menahan tangis.

"Masih banyak yang belum beres? Perlu Bunda bantu?" tanya Bunda halus, seperti Bunda yang biasanya. Bersamanya, aroma kopi dari ruang tengah merambat ke dalam.

Padahal, sudah lama sekali rumah ini tak menguarkan bau kopi. Sudah lama sekali Bunda tak menyeduh kopi.

Dengan gerakan tertatih. Sara memungut botol lotion di dekat kakinya. "Aku bisa sendiri, Bun."

Bunda bertanya sekali lagi sebelum benar-benar merapatkan pintu kamar putrinya dari luar. Sara tahu wanita itu akan selalu menuruti apa saja yang ia mau. Termasuk keinginan untuk terus tinggal di sini. Di Malang, di antara udara sejuk, sahabat-sahabat SMA yang setia, dan cowok idaman dari kelas sebalah. Kecuali, fakta bahwa untuk sekali lagi Bunda akan berkorban untuknya. Sara tak cukup yakin kali ini ia mampu menanggung rasa bersalah akan itu.

Karir Bunda sebagai auditor di perusahaan swasta sedang bagus-bagusnya ketika empat tahun lalu mereka harus pindah ke Malang. Sara untuk melarikan diri dari traumanya. Bunda untuk membantu Sara melarikan diri. Karir Bunda tamat. Mereka memulai segala sesuatu dari titik terbawah lagi. Melanjutkan hidup di rumah warisan Kakek. Bunda melamar di koperasi simpan-pinjam dan dibayar jauh di bawah gajinya dulu. Sementara Sara mengawali lembar baru sebagai anak baru pendiam yang mendapat tempat duduk di sudut kelas.

Masa adaptasi selalu menyakitkan. Untuk mengatasinya, kita hanya perlu menjadi terbiasa. Bagi Sara, terbiasa adalah istilah yang terlalu muluk. Sebab, ketika meninggalkan Jakarta ia juga telah meninggalkan sebagain dirinya di sana. Bagian yang terbaik sekaligus yang terluka parah. Sara lebih suka menyebutnya berdamai. Dengan lingkungan baru, tempat tinggal baru, orang-orang baru, sekolah baru, mimpi-mimpi baru.

Namun, berdamai saja tak cukup. Bertahun-tahun setelahnya, Bunda membawa seorang lelaki empat puluh tahunan ke rumah. Om Arif Firmansyah—Sara suka menyebutnya dengan nama lengkap supaya tidak menerbitkan rasa akrab. Bunda mengenalkannya sebagai klien yang sering meminjam uang ke koperasi. Namun, Bunda tak pernah membawa klien ke rumah. Hingga tiba-tiba Sara tahu banyak sekali Om Arif Firmansyah sebab Bunda terus-menerus menceritakannya.

Om Arif Firmansyah lebih tua beberapa tahun dari Bunda. Uban di kepala Om Arif Firmansyah lebih rimbun daripada milik Bunda, kerut di wajahnya lebih rapat, perutnya agak buncit meski badannya masih tegap. Seorang pengusaha tekstil dari Jakarta yang mengenal Bunda dalam proses pembukaan cabang toko di Malang. Saat itu, Om Arif Firmansyah rutin mengunjungi koperasi tempat Bunda bekerja. Meminjam sejumlah uang, menggadaikan ini dan itu. Lalu, mereka dekat dan saling jatuh cinta.

Berdamai saja tak cukup. Orang-orang bergerak maju. Dunia bergerak maju dengan kejam. Sara boleh tertinggal di belakang, tapi Bunda tidak. Sara tak akan mengizinkannya kali ini. Maka, ketika Bunda meminta izin untuk menikah lagi, restu Sara jatuh begitu saja.

Pernikahan Bunda dan Om Arif Firmansyah akan dihelat bulan depan di Jakarta, kemudian meraka akan tinggal di sana untuk seterusnya. Terlalu banyak hal yang tidak bisa ditinggalkan Om Arif Firmansyah di Jakarta, di sisi lain terlalu banyak hal yang tidak bisa Sara hadapai di belantara kota itu.

Sara beranjak dari kaki depan, mendekati jendela dan bilah kaca yang disilangi kayu hingga berbentuk kotak-kotak. Sedan abu-abu Om Arif Firmansyah terparkir menyerong dengan gagah di halaman depan. Aroma kopi tadi adalah tanda kehadirannya yang lain.

Setelah ini bagian-bagian lain tentang hidup Om Arif Firmansyah akan menjadi bagian hidupnya juga. Di saat yang sama, Sara juga harus berdamai dengan Jakarta. Meski, sejak empat tahun lalu, Sara tak bisa lagi memandang Jakarta dengan cara yang sama.

Sejak empat tahun lalu, Sara tak bisa lagi memandang dirinya dengan cara yang sama.

[.]

AKSARA [END]Where stories live. Discover now