BAB 1

221K 10.9K 310
                                    

William dipaksa bangun oleh suara-suara gaduh yang datang dari dapur. Beberapa perabotan makan yang terbuat dari kaca jatuh di lantai, bunyinya sungguh mengusik telinga. Mendecak kesal, lelaki itu bangkit dari ranjang.

Wanita bodoh itu berulah lagi, pikir William. Ia berderap menuju sumber suara dan seketika menggeram mendapati seorang wanita yang ada di sana. Mia. Perempuan itu tampak tergesa mengutip beberapa pecahan piring yang berserakan di lantai.

"Apa-apaan ini?!" sentak William. Mia yang berjongkok membelakanginya seketika menolehkan kepala.

"Aku ingin menyiapkan piring di atas meja makan, tapi tiba-tiba saja tanganku kram. Aku—"

"Ini sudah keberapa kalinya kau seperti ini, hah?! Oh, ya, ampun, lama-lama aku bisa jatuh miskin hanya karena harus mengganti piring yang setiap hari kau jatuhkan!" William meracau lagi.

"William, aku tidak sengaja ...."

"Alasan yang sama, aku sudah bosan mendengarnya. Sekarang katakan padaku, mungkinkah ada ketidaksengajaan yang terjadi berulang-ulang? Jangan-jangan, kau memang berencana membuatku miskin!"

"William, apa maksudmu?"

William nyaris akan membalas perkataan Mia, tetapi urung saat aroma tidak sedap menusuk hidungnya.

"Tunggu, bau apa ini?" tanya William. "Sepertinya ada sesuatu yang—"

"Oh, ya ampun!" Mia memekik kaget. "Omellete-ku!"

Lalu, perempuan itu segera bangkit dan berjalan mendekati wajan. "Astaga, omellete-nya gosong! William, bagaimana ini? Telurnya gosong!" Mia berteriak histeris. Ia buru-mengambil sebuah piring dan memindahkan telur yang sudah berwarna hitam dari penggorengan. Keluhan meluncur dari bibir perempuan itu, menyesali kecerobohan yang dilakukannya pagi ini.

William menyaksikan semua itu dengan wajah nelangsa. Selalu saja, kepalanya nyaris pecah jika sudah berhadapan dengan Mia. Wanita itu, entahlah. William tidak mengerti apa saja yang ada dalam pikirannya, hingga ia tidak dapat mengerjakan apa pun dengan benar. Setiap hari, ada saja masalah yang Mia timbulkan.

William mengepal kedua tangan, menahan emosi yang meminta dilampiaskan. Ia harus segera pergi jika tidak ingin statusnya mendadak berubah jadi pelaku kriminal.

***

"Aku sungguh ingin tahu, sekeras apa ibunya memanjakan perempuan itu dulu. Tidak ada satu pun pekerjaan rumah yang dapat dilakukannya dengan benar. Oh, astaga, setahun lagi bersamanya, mungkin aku akan berubah jadi zombie!" cecar William emosi. Ia meneguk kopi di hadapannya dengan kalap. Setiap kali mengingat Mia, kemarahan selalu merajai hati William.

Usai memarahi perempuan itu, William memilih pergi. Ia mendaratkan mobil di depan Toast and Bakery, kafe yang berada di salah satu sudut kota Los Angeles. Tempat itu hanya berjarak sepuluh menit di rumahnya. Satu-satunya alasan William pergi ke sana, karena Carlos Spencer—sahabatnya—biasa menikmati sarapan di Toast and Bakery setiap hari Minggu pagi.

Di seberang kursi William, Carlos tertawa kecil. Sebagai seseorang yang sudah berteman dengan William selama bertahun-tahun, ia jelas mengenal dengan baik polah lelaki itu. Ketika merasa kesal, William akan terlihat meledak-ledak.

"Biar begitu, dia sudah jadi istrimu. Mau bagaimana lagi?" Carlos menanggapi dengan santai.

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Kalau saja waktu bisa diputar, aku memilih tidak pernah menikahi wanita itu."

"Mungkin kau perlu memberikannya kursus?" Carlos mencoba memberi saran. "Siapa tahu dengan menjadi tutornya, kau bisa melihat sesuatu yang spesial dalam dirinya lalu mendadak jatuh cinta?"

Mendengar ucapan Carlos, William seketika berdecih. "Sudah kukatakan, Carl. Berhentilah membaca roman. Kau tahu, lama-lama pikiranmu itu membuatmu terlihat menyedihkan," ketusnya.

Carlos tergelak. Ia senang menggoda William, sebab emosi temannya mudah terpancing. Dan itu cukup membuat Carlos terhibur. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan dua porsi chilaquiles, meletakkannya pada meja di hadapan mereka.

"Oh, andai saja aku memiliki istri yang mampu menyiapkan sarapan bergizi, bukannya roti bakar gosong atau omellete berwarna hitam. Tentu aku tak harus membuang minggu pagiku yang indah dengan sarapan di restoran," keluh William, sembari menatap nelangsa pada hidangan sarapannya.

***

Mia baru saja selesai menata makanan di atas meja. Perempuan itu memandang hasil pekerjaannya dengan puas, lalu memutuskan berjalan ke kamar untuk memanggil William. Namun, sesampainya di kamar itu, Mia harus menelan kecewa karena suaminya tidak ada di sana.

Mengapa tidak memberi tahu jika ingin pergi? Mia bertanya dalam hati.

Selang beberapa detik kemudian, ponsel dalam saku Mia bergetar. Ia tersenyum saat mendapati nama ibunya di layar.

"Halo, Mrs. Sparks?" Mia menyapa dengan nada bercanda.

"Anak nakal. Panggil Ibu!" Cecilia Sparks terdengar mengomel di seberang, membuat Mia seketika tertawa.

"Apa kabar, Ibu?" tanya Mia kemudian.

"Tidak baik, sebab belakangan putriku sudah jarang menghubungiku."

"Ibu, aku tahu kau merindukanku. Tapi, sekarang aku sudah punya keluarga. Ada banyak hal yang harus kuurus." Mia menerangkan sembari berjalan kembali ke dapur.

"Hm, ya, ya, aku mengerti," sahut Cecilia. "Kau baik-baik saja, bukan?"

"Tentu, Ibu."

"Kau bahagia?"

"Mengapa Ibu bertanya seperti itu? Jelas, aku bahagia."

"Apa William memperlakukanmu dengan baik?"

"Ibu ...."

"Ya, ya, aku tidak akan bertanya lagi." Cecilia menyela cepat sebelum Mia melancarkan aksi protesnya. Mia tidak pernah suka jika sang ibu mencampuri urusan rumah tangganya, Cecilia tahu itu.

"Ya sudah, lanjutkan aktivitasmu. Aku hanya ingin menanyakan kabar, dan mengetahui kau baik-baik saja sudah cukup membuatku lega. Baiklah, jaga dirimu, Nak."

Mia tersenyum kecil. Meski ia sudah berkeluarga, perhatian Cecilia tidak pernah berkurang. "Terima kasih, Ibu," ucapnya tulus, lalu mematikan ponsel. Fokus wanita itu terusik saat pintu rumah terdengar dibuka. Ia segera berjalan menuju ruang utama dan tersenyum mendapati William.

"Kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi," kata Mia. "Ayo, kita makan, sarapan sudah siap. Aku memutuskan untuk membuat hashbrown."

"Kau makan saja," William menyahut ketus, "aku sudah sarapan di luar."

"Mengapa harus di luar? Bukankah kau tahu aku sudah memasak."

"Apa yang kau sebut memasak?!" hardik William, emosi kembali memenuhi kepalanya. "Mengubah omellete menjadi hitam? Atau sup dengan kuah mengering karena kau lupa mematikan kompor?!"

Mia terhenyak, terkejut menerima kemarahan William. Ya, William memang sering memarahi Mia. Namun, sepertinya kali ini kekesalan lelaki itu sudah di ambang batas. Mia bahkan dapat melihat semburat merah di wajah William, sebagai bukti amarahnya tidak main-main.

"Maaf ...." Hanya kata itu yang Mia ucapkan. Perempuan itu tahu, ia tidak layak membela diri. Ia memang salah dan pantas menerima akibat dari perbuatannya.

Namun, andai William mengerti. Mia tidak pernah berharap menjadi sosok yang menyebalkan seperti ini. Ia juga membenci dirinya sendiri.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang