BAB 28

80.2K 8K 714
                                    

"Ini—" Shirley tercekat, begitu matanya memandang layar laptop milik William.

"Bisakah kau terangkan, apa yang sedang kau foto saat itu?" William bertanya lagi.

Shirley menelan ludah, tenggorokannya mendadak terasa kering. Pada layar monitor, ia mendapati tangkapan layar cctv, yang memperlihatkan dirinya membidik kamera ponsel ke satu arah.

"Jika kulihat, kau mengarahkan kamera pada lift di lantai lima, tempat di mana divisi keuangan berada. Yang tentunya, selalu kalian lewati ketika datang maupun pulang. Apa yang sedang kau foto saat itu?"

Shirley terdiam cukup lama, keterkejutan kian menghiasi wajahnya. Wanita itu tampak tergeragap. "Sir, itu—"

William menatap Shirley tajam, menunggu apa yang hendak ia ucapkan. Namun, tampaknya wanita itu tak kunjung menemukan jawaban nan tepat, ia justru menunjukkan kegugupan yang begitu kentara. Dengan wajah pasi, Shirley meremas kesepuluh jemari.

"Di sini terlihat, kau membidik kamera pada pukul enam lewat dua puluh satu menit. Batas operasional kantor sudah usai, biasanya para karyawan bahkan sudah pulang sejak jam enam." William merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel. Ia meneliti benda itu seakan mencari sesuatu, lalu ketika upayanya berhasil, diangsurkannya gawai tersebut ke hadapan Shirley. "Aku sudah memeriksa foto ini. Menurut rinciannya, gambar ini diambil pada pukul enam lewat dua puluh satu menit."

Shirley kian menegang, tatkala layar ponsel William menampilkan potret Ethan mencium tangan Mia, dengan latar lift yang berada di lantai lima. William melipat kedua tangan di dada, tubuhnya perlahan menempel pada sandaran sofa. Dengan tenang tetapi penuh penekanan ia bertanya, "Mungkinkah ini suatu kebetulan?"

***

Mia benar-benar pasrah sekarang, sebab Ellena menolak mendengar penjelasannya. Saat hendak keluar dari ruangan, Mia mencoba kembali berusaha. Namun, respons yang diberikan Ellena tetap sama. Perempuan itu bahkan berkata, ia tidak sudi makan siang di meja yang sama dengan Mia.

Dengan gontai, Mia menyeret langkah menuju kafetaria. Meski begitu enggan pergi ke sana, Mia sadar, menghindar juga bukan pilihan yang benar. Perempuan itu bertekad untuk bersikap biasa saja, dan membiarkan segala isu berlalu dengan sendirinya. Untuk saat ini, ia yakin itu adalah keputusan terbaik.

Mia nyaris berbelok memasuki lorong yang akan mengantarkannya ke kafetaria, ketika sebuah tangan tiba-tiba menarik lengannya. Membawanya ke dalam ruangan terdekat yang kebetulan sedang kosong.

"Ethan?" Kedua pupil Mia sontak membesar mendapati wajah lelaki itu. "Apa yang kau lakukan?"

Ethan menghela napas, kedua matanya memindai wajah Mia. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Mia terdiam. Baik-baik saja? Bagaimana mungkin ia merasa baik, ketika semua orang melemparkan tatapan aneh padanya? Bahkan, teman terbaiknya tidak sudi untuk makan bersama. Jauh dari kata baik, Mia sungguh merasa ... kacau.

"Tentu. Aku baik-baik saja," sahut Mia, berbohong.

"Maafkan aku, Mia." Ethan berucap lirih. Kepedihan memancar dari bola matanya.

Mia tidak menjawab, hanya menghela napas sepanjang mungkin. Sama seperti dirinya, keadaan ini juga pasti menyulitkan Ethan. Lelaki itu dituding memberi perlakuan khusus pada Mia. Nama baiknya kini turut tercemar.

"Secepatnya, aku akan menemukan penyebar foto itu, lalu mengklarifikasi isu tentang hubungan kita. Aku tahu kau pasti sangat tertekan, tapi kumohon, jangan terlalu memikirkan hal ini. Tetap jaga kesehatanmu, oke?"

Mia mengangguk. Ethan mengulas senyum, berupaya menguatkan wanita itu. "Pergilah," katanya kemudian. "Aku akan berada di sini untuk lima menit. Jika mereka melihat kita keluar bersama-sama, mereka akan menganggap semua isu itu benar."

Mia mengangguk sekali lagi, lalu bergerak keluar. Meninggalkan Ethan yang hanya terpaku menatapi kepergiannya, melanjutkan langkah menuju kafetaria. Sepanjang jalan menuju tempat tersebut, Mia memikirkan Ethan. Benaknya menyimpan iba pada lelaki itu. Kabar yang berkembang pasti sudah sampai ke telinga para petinggi perusahaan, mereka berdua bisa saja dianggap tidak profesional. Dan tidak menutup kemungkinan, itu akan memberi dampak yang tidak baik pada perkembangan karier mereka—terlebih Ethan yang memang sudah menduduki jabatan cukup tinggi—ke depannya.

Mia menarik napas panjang. Mencoba mengabaikan berbagai pandangan yang ia terima, begitu menjejakkan kaki di ambang pintu kafetaria. Perempuan itu memasuki antrian pengambilan makanan. Syukurlah itu tidak banyak antrian yang tersisa, ia hanya perlu menunggu dua orang di depannya selesai lebih dulu.

Usai mengisi nampan seporsi beef steak dan segelas apple juice, Mia melangkah menuju sudut ruangan di sebelah kiri. Namun, sebelum ia berhasil mencapai tempat tersebut, seseorang tiba-tiba saja menubruk tubuhnya. Gerakan orang itu cukup keras untuk membuat nampan di tangan Mia terjatuh. Seketika, dentingan piring yang beradu dengan lantai terdengar, membuat fokus semua orang teralih pada mereka.

"Astaga, maafkan aku. Aku sedang terburu-buru ingin ke toilet, tapi malah tidak sengaja menabrakmu." Wanita yang menubruk Mia berucap dengan nada menyesal. "Oh, ya ampun, pakaianmu jadi terkena noda sebanyak ini."

Mia turut menelusur tubuhnya sendiri. Kemeja berbahan sifon yang ia kenakan basah oleh tumpahan minuman. Roknya yang berwarna putih juga tak luput dari noda beef steak. Wanita di hadapan Mia mengeluarkan sapu tangan dari saku blazer. Ia hendak membersihkan noda tersebut, tetapi Mia segera menahan tangannya.

"Tidak perlu dibersihkan," kata Mia. "Aku bisa melakukannya—"

"Kenapa?" Wanita itu bertanya heran. Detik berikutnya, ia mendekatkan wajah ke telinga Mia seraya berbisik, "Apa kau ingin Mr. George yang membersihkannya?"

"Apa maksudmu?!" sentak Mia dengan kedua mata mendelik. Ia pikir, wanita itu sungguh-sungguh tidak sengaja. Namun, mendengar bisikannya barusan, emosi yang berupaya Mia redam kembali merangkak ke seisi kepala.

Mia sungguh tidak menyangka, rumor yang menerpanya akan berdampak sampai sejauh ini. Hanya karena isu yang tidak benar, ia harus mengalami perundungan. Tidakkah ini terlalu berlebihan? Dan untuk perusahaan sekelas Harvest Corps, rasanya ini terdengar tidak masuk akal.

"Aku hanya ingin membersihkan noda di bajumu." Wanita berambut pirang itu berkilah dengan wajah tanpa dosa. Mia mengepal tangan dengan geram. Ia pikir, adegan semacam ini hanya ada dalam telenovela kegemaran ibunya. Namun, kini, ia justru mengalaminya di dunia nyata. Oh, memuakkan sekali.

"Aku mendengarnya dengan baik. Kau mengatakan bahwa aku ingin dibersihkan oleh Mr. George!" Mia menyentak dengan berani.

Mendadak, ruangan itu tidak lagi senyap. Mia bisa mendengar bisik-bisik serupa dengungan lebah, bunyinya mengganggu telinga. Meski begitu yakin setelah ini ia akan semakin dikucilkan, Mia sungguh tidak peduli. Ia sudah lelah menanggung kemarahan sejak kemarin. Demi apa pun, Mia benci difitnah seperti ini. Reaksi para karyawan juga sungguh berlebihan, membuat kesabaran Mia nyaris hilang.

Tepat saat itu, tanpa diduga-duga, seseorang muncul di dekat mereka. Dalam diam, ia menyeka bagian depan kemeja Mia yang basah dengan sehelai sapu tangan, lalu berpindah pada noda di bagian roknya. Sosok itu melakukannya dengan sangat tekun, seisi ruangan bahkan mendadak senyap akibat perbuatannya. Semua mematung pada posisi masing-masing. Tidak terkecuali dengan Mia, serta wanita yang menubruknya beberapa menit lalu. Wanita berambut sebahu itu bahkan menekap mulut dengan kedua tangan.

Usai memastikan pakaian Mia tidak begitu kotor lagi, sosok tersebut menyudahi gerakannya. Digenggamnya jemari Mia begitu erat, seakan berupaya menyalurkan kekuatan pada perempuan itu.

"Kuperingatkan pada kalian semua, hentikan semua lelucon ini. Tidak ada hubungan apa pun antara Mia dan Ethan George. Mereka hanya berteman baik, aku bisa memastikan itu."

Suara bariton milik William menggema di seisi ruangan. Membuat puluhan pasang mata yang mengarah pada mereka, terhenyak menyaksikan adegan tersebut.

"Dan tidak satu pun dari kalian kuijinkan mengolok-olok Mia. Karena wanita ini ..." William menolehkan kepala ke arah Mia, menatap dalam pada manik almond wanita itu seraya berkata, "istriku."

Untuk sejenak, waktu seolah berhenti begitu saja. Baik Mia maupun wanita di depannya, refleks mendelik lebar. Tidak hanya mereka, juga segenap karyawan yang memenuhi kafetaria. Termasuk Ellena. Shirley. Serta Ethan yang sudah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu bahkan nyaris menjatuhkan ponsel di tangannya.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang