BAB 54

73.9K 6.4K 1.3K
                                    

Melalui celah pintu, Mia mengintip ke dalam ruang kerja pribadi milik William. Lelaki itu terlihat fokus pada layar laptop di depannya. Sepulang dari kantor tadi, William segera mandi, lalu menyibukkan diri di tempat tersebut. Benar-benar mengabaikan Mia yang berulang kali mencoba mengajaknya berbicara.

Mia menghela napas. Mencoba memantapkan hati, ia lantas mengetuk pintu bercat cokelat tersebut.

"Aku sudah menyiapkan makan malam," kata Mia, dari ambang pintu.

"Aku tidak lapar." William menyahut ketus, tanpa mengangkat wajahnya sedikit pun.

Mia menelan ludah. Dahulu, ia menerima respons semacam ini nyaris setiap hari.

"Tapi, kau belum memakan apa pun sejak pulang dari kantor tadi." Mia masih berusaha.

William tidak menyahut, tetap memusatkan perhatian pada layar di hadapannya. Melihat itu, Mia memberanikan diri untuk melangkah masuk.

Seraya berjalan mendekati William, Mia berkata, "Jangan bersikap seperti ini. Aku bisa menjelaskan semuanya."

William membuang napas jengah, lantas bangkit dari kursi. "Aku tidak butuh penjelasan apa pun," ucapnya tajam, kemudian berlalu begitu saja. Melewati Mia, yang hanya mampu terdiam memandangi punggungnya.

William memacu langkah menuju kamar tamu. Pertengkaran dengan Mia membuatnya memutuskan untuk tidur secara terpisah dengan wanita itu. Sesampainya di ruangan tersebut, William membaringkan tubuh di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar dengan berbagai pikiran yang menyesak dalam kepala. Bayangan wajah Mia yang dilewatinya beberapa menit lalu kembali menyisakan perih dalam hati. Sesungguhnya, berlaku demikian pada Mia terasa berat bagi William. Namun, kekesalan yang masih tersimpan membuatnya tidak memiliki pilihan.

Selain berniat memberi pelajaran pada Mia yang tidak kunjung terbuka—dan bahkan berbohong padanya—William ingin mendengar lebih dulu penjelasan dari Stephen. Sayangnya, lelaki itu tidak dapat bertemu dengannya hari ini karena disibukkan jumlah pasien yang cukup banyak. Namun, Stephen sudah berjanji, mereka akan bertemu besok.

William memejamkan mata, berharap waktu akan cepat berlalu. Ia sungguh ingin mendengar penjelasan dari Stephen. Sebab dengan demikian, ia akan tahu apa yang harus dilakukannya pada Mia.

***

Mia menatap omellete, ayam goreng, serta sup asparagus di atas meja makan dengan wajah nelangsa. Padahal, sepulang dari kantor ia sengaja menyiapkan berbagai hidangan tersebut untuk William. Ia merasa senang karena begitu jam kerja usai, lelaki itu benar-benar kembali ke rumah, tidak pergi ke tempat lain seperti kemarin malam. Namun, upayanya sia-sia, sebab bukan hanya masakannya, William bahkan tidak mau repot-repot memandang wajahnya.

Mia duduk di kursi, mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Sembari menyuapkan makanan ke dalam mulut, pikirannya kembali melintaskan wajah William. Saat lelaki itu berjalan melewatinya begitu saja, seakan Mia adalah musuh yang paling dibencinya.

Mia menyesal, sungguh. Jika saja bisa, ia ingin waktu kembali diulang, hingga ia dapat lebih dulu memberitahu Willam. Tentang pertemuannya dengan Stephen. Tentang hasil pembicaraan mereka. Dan yang terutama ... tentang perasaannya pada William.

Mia benci menjadi sosok yang cengeng. Sudah sangat lama ia tidak menangis, sejak menyaksikan tragedi yang menimpa Marylin. Mia pikir, air matanya sudah habis saat itu. Sehingga seperih apa pun masalah yang dihadapinya, bahkan semenyakitkan apa pun perlakuan William di awal pernikahan mereka, ia tidak pernah mengeluarkan air mata.

Tapi, hari ini, bahkan sejak kemarin, nyeri yang sudah sejak lama ia pendam dalam hati, seakan meluap begitu saja. Membuatnya tidak mampu menahan buliran air mata, yang sudah berjatuhan dengan bebasnya.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang