BAB 8

96.5K 7.6K 282
                                    

Mia beranjak dari kasur dengan gerakan lunglai. Ia melirik jam yang menggantung di dinding, jarumnya mengarah ke angka tujuh. Menyeret langkah, Mia membuka pintu kamar dan bergerak menuju dapur. Saat kakinya mencapai ruang keluarga, perempuan itu lantas terhenyak. William tampak tertidur di sofa.

Melihat William, sejenak mengingatkan Mia pada insiden malam tadi. Saat lelaki itu marah padanya karena menerima ajakan dinner dari Jason. Mia mendesah pelan. Andai saja William tahu, Mia sama sekali tidak berniat mencoreng nama baik keluarga, terutama reputasi William. Ia hanya berupaya membalas hutang budi, tidak lebih. Namun, kebencian yang tertanam di hati William, tampaknya hanya menyisakan hal-hal negatif tentang Mia dalam pikiran lelaki itu.

Mencoba menyabarkan hati atas kenyataan tersebut, Mia melangkah mendekati William. Ia berniat membangunkan lelaki itu, tetapi gelagat yang William tunjukkan membuatnya tertegun. Tubuh William gemetar. Ia memeluk dirinya sendiri, layaknya orang yang merasa kedinginan. Mendapati firasat buruk akan hal tersebut, Mia menempelkan punggung telapak tangan di dahi lelaki itu. Dugaannya tidak meleset. Tubuh William terasa panas.

Tergesa, Mia berjalan menuju dapur. Ia mengambil sebuah wadah, mengisinya dengan air hangat, lalu meraih kain dari lemari. Mia membawa peralatan itu kembali ke ruang keluarga. Usai memeras kain, dikompresnya dahi William.

Mia kembali berderap menuju dapur. Bermodal resep dari internet, ia mulai membuat clam chowder.

***

Suara gaduh yang datang dari dapur mengusik telinga William, membuat kedua matanya perlahan terbuka. Wanita itu pasti berulah lagi, pikir William. Lelaki itu nyaris bangkit, tetapi urung sebab kepalanya terasa pusing. Saat itulah, ia menyadari sebuah kain hangat membalut dahinya.

"Kau sudah bangun," sapa Mia tiba-tiba, langkahnya menghampiri William. Di atas meja, ia meletakkan semangkuk sup. "Duduklah sebentar. Kau harus mengisi perut, lalu meminum obat."

William menghela napas, kepalanya terasa berat. "Aku tidak lapar," katanya.

"Meski kau tidak lapar, tubuhmu tetap membutuhkan makanan." Mia bersikukuh. "Atau, kau mau aku menyuapimu?"

Seraya mendengkus, William mengubah posisi tidur menjadi duduk.

"Makanlah, aku akan mengambilkan obat untukmu," ucap Mia kemudian.

Dengan gerakan malas, William meraih mangkuk yang diangsurkan Mia. Matanya menatap sup kerang buatan sang istri dengan penuh antisipasi. "Kau tidak memasukkan gula ke dalamnya, bukan?"

Mia mendelik. "Meski tidak ahli memasak, aku masih mampu membedakan gula dengan garam."

"Jadi, berapa banyak garam yang kau masukkan? Lima sendok?" William mengaduk-aduk sup tersebut tanpa minat. "Aku bahkan masih dapat melihat butirannya."

Mia mendecak sebal. Meski dalam keadaan sakit, William tetap tidak lupa untuk mencela. Perempuan itu mengambil napas panjang, mencoba menyabarkan hati. "Aku sedang tidak ingin berdebat, jadi jangan banyak protes."

Usai mengatakan kalimat tersebut, Mia berderap menuju kamar. Meninggalkan William yang masih mengamati mangkuk di tangannya. Perlahan, lelaki itu menyuapkan sesendok sup ke dalam mulut. Yah, rasanya memang sedikit asin. Teksturnya juga lebih cair. Namun, setidaknya sup kerang tersebut sedikit lebih baik dari masakan Mia selama ini. William bahkan tidak sadar telah melahapnya suap demi suap, sampai akhirnya Mia kembali dengan membawa kotak obat.

Mia cukup terkejut, mendapati mangkuk di tangan William nyaris habis isinya. Meski merasa senang, perempuan itu tidak mengatakan apa pun. Hanya tangannya yang bergerak, mengeluarkan sebuah pil pereda demam, lalu diangsurkannya pada William.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang