BAB 7

125K 8.9K 442
                                    

Mia melempar pandangan pada William yang duduk di meja makan. Lelaki itu tampak menikmati kopi dan roti selainya. Sejak pembicaraan malam tadi, William tidak bersuara sama sekali. Ia tampak lebih dingin dari biasa, benar-benar mengabaikan Mia.

Berjalan pelan, Mia memutuskan menempati kursi di seberang sang suami. Ia mengambil dua helai roti dan mulai mengolesinya dengan selai stroberi. Sesekali, pandangannya tertuju pada William. Namun, lelaki itu tetap menunduk sembari menggigiti rotinya.

"Will."

"Hm."

Mia menelan ludah. Bahkan menyahut panggilannya saja, William tampak tidak berminat.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu," kata Mia kemudian.

"Bicaralah."

Mia meneguk segelas air di hadapannya, sekadar membasahi kerongkongan yang terasa kering. Ia menarik napas sesaat lalu mengatakan, "Aku ingin kembali bekerja."

Gerakan William yang tengah mengunyah roti sejenak berhenti. Ia menatap perempuan itu seraya bertanya, "Kalau kau bekerja, siapa yang akan mengurus rumah?"

William tidak begitu suka menggunakan jasa pengurus rumah tangga. Ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing dalam lingkungan tempat tinggalnya. Itu sebabnya sejak masa kuliah—bahkan hingga bekerja—ia mengusahakan segala keperluannya seorang diri.

Sebelum menikah, William terbiasa membersihkan rumah di pagi hari. Untuk pakaian, ia menyerahkannya ke gerai laundry. Dan untuk makanan, jika sedang tidak sempat memasak, ia akan memesan di restoran cepat saji. Oleh sebab itu, William merasa aneh dengan Mia yang tampak tidak terbiasa mengurus apa pun. William menebak, perempuan itu terlalu dimanjakan oleh orang tuanya.

"Kita bisa menggunakan jasa pengurus rumah tangga. Lagi pula, bukankah kau mengatakan aku hanya bisa membuat rumah kacau?" Mia berkata lagi.

"Aku tidak setuju menggunakan jasa pengurus rumah tangga," ketus William. "Tapi, jika kau memang ingin bekerja, terserah kau saja."

William menandaskan sisa kopi dalam satu tegukan, lalu mengangkat gelas yang sudah kosong, meletakkannya pada wastafel. Sembari melirik arloji, lelaki itu menyeret langkah menuju ruang keluarga. Tangannya meraih jas dan tas yang tergeletak di atas sofa.

"Aku pergi," pamit William kemudian.

Mia menekap wajah, sungguh frustrasi. Ia tidak pernah mengerti jalan pikiran William. Bahkan saat ia membutuhkan izin, lelaki itu hanya memberi jawaban yang membingungkan.

Kenapa harus terserah? Apa susahnya mengatakan iya? Mia membatin kesal. Dengan gerakan kasar, ia menggigiti rotinya.

***

"Hai, Will."

Sapaan Carlos terdengar saat William berjalan menuju ruang kerjanya. Lelaki itu hanya membalas dengan anggukan. Carlos mengikuti gerakan William memasuki ruangannya, lalu mengambil posisi pada sofa yang ada di sana. Sofa berwarna putih yang memang disediakan untuk menyambut tamu William.

"Bagaimana kabar Mia?" tanya Carlos, kedua matanya mengikuti gerakan sang sahabat. Lelaki itu tampak melepas jas, lalu menyampirkannya pada sandaran kursi.

"Kau tidak memiliki pertanyaan yang lebih berbobot?" William membalas sengit. Ia mendengkus sebentar, lalu mulai memeriksa helaian kertas di atas meja.

Carlos terkekeh pelan. "Masih ekspresi yang sama. Padahal, aku berharap melihat bunga-bunga di wajahmu saat aku menyebut nama itu."

"Berhenti meracau, Carl. Cukup kerjakan apa yang harus kau selesaikan."

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang